Senin, 29 Juni 2009

Penyimpangan sosial

PENYIMPANGAN SOSIAL YANG DILAKUKAN OLEH LANSIA

SEBAGAI DAMPAK PERGESERAN PERANNYA DALAM MASYARAKAT

Sebuah Tinjauan Sosiologi Keluarga”

Masyarakat pada hakekatnya terbagi menjadi beberapa segmen yang berbeda. Salah satu segmen yang ada dalam masyarakat dan yang paling mudah untuk diidentifikasi adalah segmen usia. Berdasarkan segmen usia, masyarakat secara sederhana terdiri dari segmen usia anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia (lanjut usia). Lansia atau orang lanjut usia sendiri adalah orang-orang yang telah berumur lebih dari 60 tahun, di mana mereka telah mencapai fase usia yang lebih tinggi dibandingkan kategorisasi lain dalam segmen usia tersebut.

Keberadaan lansia sendiri memiliki peran penting sebagai motor penggerak bagi generasi penerus mereka. Secara historis, lansia dapat dikatakan merupakan ‘pelopor’ pembangunan, di mana mereka sendiri pernah mengalami fase usia yang secara kategorial berada di bawah fase usianya yang sekarang, dan pada prosesnya, mereka menjalankan peran tersebut dalam masyarakat sampai pada akhirnya menyandang status sebagai ‘lansia’, di mana memiliki peran yang berbeda dengan peran yang mereka jalani sebelumnya. Dalam kajian sosiologi keluarga, peran tersebut merupakan peran Grandparenthood, di mana secara garis besar menunjuk pada peranan sebagai pemegang transmisi nilai-nilai dalam masyarakat.

Namun, sehubungan dengan itu, menurut data yang ditemukan, pada tahun 2000 tercatat sekitar 7,18% penduduk Indonesia berusia lanjut (14,4 juta orang), dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlahnya akan mencapai 11,34% dari seluruh penduduk Indonesia (28,8 juta orang). Kondisi ini akan membebani penduduk berusia produktif apabila ratio ketergantungan terus bertambah.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memperkirakan pada 2025, lebih dari seperlima penduduk Indonesia adalah orang lanjut usia (lansia).

"Ini merupakan fenomena yang tidak bisa dianggap biasa," ujar Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Nina Sardjunan pada jumpa pers Jakarta Forum on Social Protection for Senior Citizen in Indonesia and ASEAN Countries di Jakarta. Senin (12/11).

Menurut dia, kondisi tersebut disebabkan oleh menurunnya angka mortalitas dan meningkatnya umur harapan hidup masyarakat Indonesia. "Jumlah populasi yang besar tersebut jangan sampai menjadi beban pembangunan tetapi, aset pembangunan," ujarnya.

Bersarkan statistik BPS, 59,12 persen lansia di Indonesia tergolong miskin, dan merupakan 27 persen dari total penduduk miskin. Selain itu, rata-rata pendidikan lansia di Indonesia hanya Sekolah Dasar tanpa memiliki pekerjaan tetap.

Menurut penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa dewasa ini, terdapat adanya stereotype tersendiri terhadap kaum lansia, di mana mereka dianggap sebagai suatu ‘beban’ bagi masyarakat tempat mereka berada, padahal secara normatif, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, keberadaan lansia sebagai pemegang peran Grandparenthood sangat penting adanya bagi masyarakat. Dari situlah terdapat adanya pergeseran peran, di mana lansia yang dulunya memiliki peran yang ‘dituakan’ justru bergeser menjadi ‘dianggap menyusahkan’. Keberadaan lansia menjadi tidak dianggap penting dalam pembangunan masyarakat. Pergeseran peran yang dialami lansia inilah yang nampaknya membawa dampak bagi masyarakat. Banyaknya kasus-kasus penyimpangan sosial yang diklasifikasikan ke dalam tindak kejahatan (kriminalitas) yang dilakukan oleh lansia menjadi tanda adanya hubungan kausalitas antara perilaku menyimpang dengan dinamika sosial masyarakat, di mana dalam hal ini dilakukan suatu segmen tertentu dalam masyarakat, yakni kelompok lansia.

Kelompok lansia yang semestinya memegang peran penting dalam masyarakat dan diharapkan dapat menjadi ‘motor penggerak’ pembangunan, namun pada kenyataannya, dewasa ini banyak sekali terjadi berbagai kasus penyimpangan yang diklasifikasikan ke dalam tindak kejahatan yang justru dilakukan oleh lansia. Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan dalam adalah (1) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pergeseran peran lansia dalam masyarakat yang mendorong perilaku menyimpang mereka?, dan (2) Bagaimana cara menanggulangi penyimpangan sosial yang dilakukan lansia dalam masyarakat?

Dinamika masyarakat yang berjalan ke arah yang tidak sesuai dengan harapan anggotanya kadang memberikan dampak bagi masyarakat itu sendiri, yaitu ketika ada komponen masyarakat yang bereaksi sebagai hasil dari perubahan tersebut. Salah satu cara dalam menanggulangi dampak dari perubahan adalah dengan memaksimalkan kewenangan para pemegang fungsi kontrol. Namun, keadaan akan berbeda apabila pihak yang harus dikontrol adalah pihak yang berada dalam segmen yang nyaris berada pada ambang eksklusi, yakni kaum lansia.

Tak dapat dipungkiri, bahwa pergeseran peran yang dialami lansia dalam masyarakat menyebabkan mereka sedikit tereksklusi dari kehidupan publik, di mana mereka mengalami disengagement yang pada akhirnya berujung pada degradasi peran. Degradasi peran yang dialami lansia sendiri nampaknya memiliki dua bentuk, yakni degradasi peran di mana para lansia sebagai individu yang berkurang produktivitasnya maupun maupun degradasi peran di mana para lansia yang dahulunya ‘dituakan’ oleh masyarakat sekitarnya menjadi tidak lagi ‘dituakan’ akibat adanya pergeseran budaya dalam masyarakat.

Dari situlah, fungsi kontrol dari para pemegang kewenangan juga memiliki keterbatasan dalam meraih segmen ini, di mana fungsi kontrol (dalam hal ini seperangkat aturan, dsb) yang menjadi external containment bagi masyarakat menjadi tidak efektif. Faktor internal containment juga menjadi melemah pada segmen ini, di mana para lansia yang merasa tereksklusi kehilangan kesadaran akan tanggung jawabnya dalam masyarakat.

Akibatnya timbulah peluang bagi segmen ini untuk melakukan penyimpangan sosial. Bentuk-bentuk penyimpangan yang dilakukan juga beragam (lihat link-link pada 'wacana').

Melalui artikel-artikel dalam wacana, dapat dilihat adanya peran yang melemah, khususnya peran grandparenthood yang dipegang para lansia yang melakukan perilaku menyimpang tersebut, di mana peran grandparenthood yang seharusnya menjadi fokus mereka menjadi hilang seiring dengan perubahan nilai keluarga di mana mereka berada. Perubahan nilai keluarga tersebut rupanya juga mempengaruhi peranan simbolik yang seharusnya dijalankan oleh kaum lansia dalam keluarga.

Jadi, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, terdapat dua bentuk pergeseran peran lansia, yakni lansia sebagai individu dan lansia sebagai dampak pergeseran budaya. Apabila digambarkan dalam bagan, pergeseran peran lansia tersebut dapat digambarkan sbb:


1. Pergeseran Peran Lansia Sebagai Individu



2. Pergeseran Peran Lansia Sebagai Dampak Pergeseran Budaya


Beberapa faktor yang memicu terjadinya penyimpangan sosial oleh lansia, yaitu:

1. Penurunan kesehatan, serta status sosial-ekonomi yang dialami lansia, di mana mempengaruhi produktifitas serta status dan peranannya dalam masyarakat.

2. Pergeseran budaya yang yang berujung pada pergeseran nilai keluarga.


Adapun, yang harus dilakukan demi menanggulangi dampak pergeseran peran tersebut adalah:

1. Meminimalisir disengagement yang dialami para lansia dengan meningkatkan aktivitas mereka dalam masyarakat.

2. Diperlukan perhatian dari pemerintah sebagai pemegang fungsi kontrol dalam menjaga kesejahteraan kaum lansia sebagai salah satu bagian segmen penting dalam masyarakat.

3. Apresiasi serta seperangkat aturan yang berlaku, sebagai salah satu perwujudan reward and punishment dalam menanggapi permasalahan lansia.


Pada hakekatnya, lansia masih merupakan warga negara yang sah, memiliki eksistensi yang nyata, dan relasi baik secara sosial maupun kultural di dalam masyarakat. Oleh karena itu, penyimpangan-penyimpangan yang terjadi yang melibatkan kelompok tersebut sudah seharusnya diberikan perhatian lebih, di mana secara sistemik, kelompok lansia masih merupakan bagian dari sistem masyarakat yang berada di bawah naungan negara.

Malpraktik

Malpraktik dalam bidang Medis

Medical Negligence

Dalam beberapa dekade terakhir ini istilah malpraktik cukup terkenal dan banyak dibicarakan masyarakat umum khususnya malpraktik bidang kedokteran dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Jika kita flashback beberapa dekade ke belakang khususnya di Indonesia anggapan banyak orang, dokter adalah profesional yang kurang bisa disentuh dengan hukum atas profesi yang dia lakukan. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat saat sekarang banyak tuntutan hukum baik perdata, pidana maupun administratif yang diajukan pasien atau keluarga pasien kepada dokter karena kurang puas atas hasil perawatan atau pengobatan.

Yang masih perlu dikaji dan didiskusikan kembali adalah apakah sudah benar dasar penuntutan yang disampaikan kepada dokter atau rumah sakit dengan dasar dokter atau rumah sakit bersangkutan telah melakukan tindakan malpraktik jika kita tinjau dari kaca mata Undang – Undang Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Undang – Undang Praktek Kedokteran, KODEKI serta standar profesi dokter dalam menjalankan profesinya.

Transaksi terapeutik dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk perjanjian antara pasien dengan penyedia layanan dimana dasar dari perjanjian itu adalah usaha maksimal untuk penyembuhan pasien yang dilakukan dengan cermat dan hati-hati sehingga hubungan hukumnya disebut sebagai perikatan usaha/ikhtiar. Agar dapat berlaku dengan sah, trasaksi tersebut harus memenuhi empat syarat, pertama ada kata sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri, kedua kecakapan untuk membuat sesuatu, ketiga mengenai suatu hal atau obyek dan yang keempat karena suatu causa yang sah. Transaksi atau perjanjian menurut hukum dengan transaksi yang berkaitan dengan terapeutik tidaklah sama. Pada hakekatnya transaksi terapeutik terkait dengan norma atau etika yang mengatur perilaku dokter dan oleh karena itu bersifat menjelaskan, merinci ataupun menegaskan berlakunya suatu kode etik yang bertujuan agar dapat memberikan perlindungan bagi dokter maupun pasien. Hubungan antara transaksi terapeutik dengan perlindungan hak pasien dapat dilihat pada Undang-Undang Nomer 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran diantaranya adalah hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan dilakukan, hak meminta penjelasan pendapat dokter, hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis, hak menolak tindakan medis dan hak untuk mendapatkan rekam medis. Kewajiban pasien dalam menerima pelayanan kedokteran antara lain memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasehat atau petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.

Menurut Leenen kewajiban yang harus dilakukan dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah melaksanakan suatu tindakan sesuai dengan standar profesi medik (SPM) yang pada hakekatnya terdiri dari beberapa unsur diantaranya bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama, sesuai dengan ukuran medik, sesuai dengan kemampuan rata-rata/sebanding dengan dokter dalam kategori keahlian medik yang sama, dalam keadaan yang sebanding dan dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan tujuan konkrit dari tindakan medik tersebut.

Perbedaan yang mendasar antara hukum pidana umum dengan hukum pidana medik adalah sebagai berikut hukum pidana umum yang diperhatikan adalah akibat dari peristiwa hukumnya sedangkan hukum pidana medik yang diperhatikan adalah sebabnya. Jika akibat suatu perawatan medis hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan atau pasien mengalami kerugian maka belum tentu dokter yang merawat telah melakukan kesalahan. Harus diteliti terlebih dahulu apakah dalam melakukan perawatan tersebut dokter telah menerapkan tindakannya sesuai dengan standar profesi yang dibenarkan oleh hukum dan nilai-nilai kode etik profesi sebagaimana yang tertuang dalam KODEKI. Karena menurut penulis ilmu kedokteran/kesehatan merupakan paduan antara ilmu pengetahuan dan seni, 3 dikali 3 tidak harus 9 hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi hasil yang ingin dicapai seperti kondisi tubuh pasien, cara penanganannya, komplikasi dan banyak faktor yang lain termasuk tidak atau tersedianya peralatan kedokteran yang memadai. Sehingga tidak ada 2 kasus yang diselesaikan dengan hasil yang sama.

Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan ”practice” yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktek adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien. Menurut Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan, dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”

Selain pengertian diatas definisi lain dari malparaktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman, 1950), selain itu menurut Hoekema, 1981 malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama, dan masih banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah dipublikasikan. Dalam tata hukum indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter. Sehingga dari berbagai definisi malpraktik diatas dan dari kandungan hukum yang berlaku di indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok untuk membuktikan malpraktik yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter ketika melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan tersebut.

Menurut Gunadi, J dapat dibedakan antara resiko pasien dengan kelalaian dokter (negligence) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pada dokter, resiko yang ditanggung pasien ada tiga macam yaitu :

1. Kecelakaan

2. Resiko tindakan medik (risk of treatment)

3. Kesalahan penilaian (error of judgement)

Masih menurut Gunadi, J masalah hukum sekitar 80% berkisar pada penilaian atau penafsiran. Resiko dalam tindakan medik selalu ada dan jika dokter atau penyedia layanan kesehatan telah melakukan tindakan sesuai dengan standar profesi medik dalam arti bekerja dengan teliti, hati-hati, penuh keseriusan dan juga ada informed consent (persetujuan) dari pasien maka resiko tersebut menjadi tanggungjawab pasien. Dalam undang-undang hukum perdata disana disebutkan dalam hal tuntutan melanggar hukum harus terpenuhi syarat sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan (berbuat atau tidak berbuat)

2. Perbuatan itu melanggara hukum

3. Ada kerugian yang ditanggung pasien

4. Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan

5. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian

Dalam beberapa kasus yang diajukan ke pengadilan masih terdapat kesulitan dalam menentukan telah terjadi malparaktik atau tidak karena dalam tatanan hukum indonesia belum diatur mengenai standar profesi dokter sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal biasa, misalnya : pencurian atau pembunuhan. Sebagai insan yang berkecimpung di bidang asuransi kita berharap pemerintah lebih serius untuk mengatur permasalahan tersebut dengan menerbitkan produk hukum yang mengatur tentang standar profesi.

Tips Menghindari Malpraktik

Untuk menghindari kemungkinan tindakan malpraktik yang dilakukan dokter, ada beberapa hal yang dilakukan pasien. Yang jelas, ia harus aktif. Ini juga untuk menumbuhkan kesadaran pasien atas hak-hak yang dimilikinya saat menghadapi dokter. Apa yang dapat dilakukan pasien, simak saran dari dr. Bahar Azwar, Sp.B.Onk.:

- Jangan menerima mentah-mentah apa yang dikatakan dokter. Jika ada yang tidak Anda mengerti, segeralah bertanya. Dengan bertanya, paling tidak Anda akan tahu alasan dokter memvonis penyakit Anda.

- Jangan menganggap dokter tahu segalanya. Jika dokter terlihat ragu pada diagnosa yang ia buat, segeralah bertanya.

- Usahakan Anda mengerti masalah hukum dan etika yang mengatur hak dan kewajiban pasien dan dokter. Bahan bisa Anda peroleh dari mana saja, sperti buku, majalah, teve, dan lain-lain.

- Cari tahu segala hal tentang dokter dan pengobatan yang ditawarkan. Dengan demikian, Anda tidak akan dirugikan oleh pelayanan dokter. Atau paling tidak, jika merasa dirugikan, Anda dapat menuntut pelayanan yang lebih baik.

- Jangan takut meminta pendapat kedua pada pihak lain, entah itu dokter atau pengobat tradisional. Jika merasa ragu, pindah dokter juga dibolehkan asal Anda tahu apa yang Anda lakukan.


UU Praktik Kedokteran dalam Perspektif Malpraktik Medis

Chrisdiono M Achadiat

Rancangan Undang-Undang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut RUU PK) kini sedang dibahas di DPR dan banyak pihak menaruh harapan besar terhadap perangkat peraturan ini. Agak mengherankan memang, karena ternyata sampai saat ini Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang belum memiliki UU untuk mengatur praktik kedokteran, sedangkan negara yang tergolong "terbelakang" seperti Vietnam atau Myanmar telah memiliki UU seperti itu sejak lama!

Meskipun terkesan agak terlambat, apabila RUU ini bisa lolos nantinya pastilah akan merupakan "terobosan" yang sangat bermakna bagi praktik kedokteran; apalagi belakangan ini ramai diberitakan dalam media cetak maupun elektronik mengenai pelbagai kasus berkaitan dengan perselisihan antara dokter dan pasiennya.

Bagaimana sebenarnya isi dari RUU itu, yang kini menjadi polemik hangat di kalangan profesi kedokteran maupun masyarakat umum?

Latar belakang, filosofi, dan tujuan

Praktik kedokteran dalam pengertian luas pada hakikatnya adalah perwujudan idealisme dan spirit pengabdian seorang dokter, sebagaimana yang diikrarkan dalam Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Dalam perkembangannya kemudian, seluruh aspek kehidupan di dunia ini mengalami perubahan paradigma secara bermakna, termasuk dalam profesi kedokteran, dengan akibat terjadi pula perubahan orientasi dan motivasi pengabdian tersebut pada diri sebagian dokter. Sebagai dampak perubahan yang semakin global, individualistik, materialistik, dan hedonistik tersebut, maka perilaku dan sikap tindak profesional di sebagian kalangan dokter juga berubah.

Masyarakat kemudian juga semakin memandang negatif profesi kedokteran karena melihat dan menyaksikan maraknya praktik-praktik kedokteran yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur Sumpah Dokter dan KODEKI. Masyarakat atau pasien (yang dalam terminologi bisnis kini disebut konsumen, juga dalam konteks kontrak terapeutik!) merasa perlu "melindungi diri" terhadap perilaku hedonistik dan unethical para dokter itu.

Materi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mencerminkan kekhawatiran tersebut dan profesi kedokteran adalah salah satu bidang yang tercakup di dalam UU No 8/1999. Bahkan ditegaskan bahwa kontrak terapeutik antara dokter dan pasien adalah seperti halnya kontrak-kontrak jasa atau dagang lainnya.

Setuju atau tidak, suka atau tidak suka, tetapi jelas bahwa bidang kedokteran (yakni kontrak terapeutik) sudah termasuk dalam cakupan UU itu, sehingga pasien kemudian disebut sebagai konsumen pelayanan kesehatan (health consumers) dan dokter atau rumah sakit sebagai produsen jasa pelayanan kesehatan (health producers).

Karena itu, kalangan profesi kedokteran yang merasa sangat "terancam" dan keberatan dengan UU Perlindungan Konsumen itu kemudian (secara kebetulan?) mengajukan RUU PK ini. Dengan demikian, tak terhindarkan adanya kesan kuat bahwa RUU PK adalah reaksi belaka terhadap UU Perlindungan Konsumen. Akan tetapi, benarkah RUU PK tersebut disusun sebagai reaksi terhadap UU No 8/1999 itu sebagaimana disinyalir banyak kalangan? Benarkah RUU PK itu semacam "payung perlindungan" dokter atas maraknya tuntutan masyarakat/pasien terhadap para praktisi kedokteran?

Disebutkan dalam RUU PK bahwa tujuan pengaturan, pengawasan, dan pembinaan penyelenggaraan praktik kedokteran melalui UU ialah: (a) Memberikan perlindungan kepada penderita atau masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan; (b) Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan oleh tenaga medis (domestik atau asing); dan (c) Memberikan kepastian hukum kepada penerima jasa pelayanan kesehatan (pasien) dan penyelenggara pelayanan kesehatan (dokter dan dokter gigi).

Jadi, sangat jelas bahwa RUU PK ternyata bukan hanya sekadar reaksi terhadap adanya UU No 8/1999, melainkan lebih jauh dari itu adalah mengatur dan menyeimbangkan hak kewajiban dokter dan pasien dalam konteks praktik kedokteran. Bukankah selama ini selalu menjadi polemik hangat, siapa sebenarnya secara hukum memiliki kedudukan lebih tinggi/kuat? Dokter atau pasien/masyarakat?

Kalangan dokter berpendapat pihak pasien terlalu/sangat kuat kedudukannya sehingga dapat dengan begitu saja menuntut/menggugat dokter untuk suatu hasil pengobatan negatif atau tidak memenuhi harapan pasien. Padahal, dampak dari tuntutan itu terkadang sudah merupakan pembunuhan karakter atau character assassination terhadap dokter yang dituntut/digugat; sedangkan pada kenyataannya tidak selalu hasil negatif itu merupakan kesalahan atau kelalaian dokter yang merawat.

Sering kali, bahkan pihak pasien (melalui pengacaranya) telah memublikasikan kasus yang digugatnya sebagai malpraktik, padahal hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas asas praduga tak bersalah, mengingat "stempel" malpraktik harus ditetapkan melalui proses peradilan!

Sebaliknya, pihak pasien berpendapat bahwa dokter-dokter itulah yang "kebal hukum" dan selalu berlindung di balik etika kedokteran agar terlepas dari tanggung jawab yang seharusnya dipikul. Image negatif terhadap profesi kedokteran ini semakin mengental ketika pelbagai pengaduan oleh masyarakat kepada organisasi profesi (yakni Ikatan Dokter Indonesia/IDI) sangat lamban ditanggapi, kalau tidak mau disebut IDI bahkan sering kali kurang peduli dengan pengaduan-pengaduan tersebut!

Keadaan itu diikuti dan diperparah lagi dengan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap IDI (baca: profesi kedokteran) akibat lambannya respons (untuk tidak menyebut no response!) terhadap pelanggaran-pelanggaran tadi. Bahkan yang paling "kasatmata" atau terang-terangan sekalipun, IDI sepertinya bersikap sangat pasif! IDI terkesan selalu nongkrong di kantor menunggu pengaduan dan bahkan lebih konyol lagi, tampaknya IDI berpegang pada prinsip "tidak ada pengaduan berarti semuanya baik-baik saja!"

Pelbagai pelanggaran etika dan hukum yang begitu jelas, transparan, kasatmata, dan telah berjalan bertahun-tahun, dilakukan oleh beberapa kalangan dokter (dan juga nondokter, tetapi menggunakan atribut maupun idiom-idiom dokter/kedokteran) tanpa adanya teguran atau peringatan dari siapa pun (termasuk IDI), sampai detik ini pun masih berlangsung dengan aman-aman saja! IDI terkesan sangat "berpihak" kepada anggota-anggotanya (baca: para dokter!), nyaris secara membabi buta! Tidak jarang masyarakat menjadi jengkel dan terheran-heran ketika pengaduan-pengaduan pelanggaran etika kedokteran oleh dokter diputuskan "salah alamat" oleh IDI/MKEK! Dengan begitu, pelanggaran-pelanggaran etika (dan juga hukum!) cenderung berlanjut terus!

Moralitas profesi

Walaupun yang mengajukan RUU PK adalah kalangan dokter dan profesional medis, seyogianya tetap tidak meninggalkan nilai-nilai moralitas dan etika dari profesi ini, yakni kepentingan masyarakat/pasien adalah di atas segala-galanya!

Namun, klausul "kepentingan pasien di atas segala-galanya" itu juga harus tetap dibaca dalam konteks keadilan dan keseimbangan dengan hak-hak asasi sang dokter! Jadi, kalau dokter melanggar hukum, ia harus diproses secara hukum dan (jika bersalah!) dikenai sanksi hukum, sedangkan untuk pelanggaran etika kedokteran, sang dokter dikenai sanksi etika.

Masyarakat juga harus disadarkan bahwa sanksi maksimal untuk suatu pelanggaran etika adalah dikeluarkan dari komunitas penganut etika profesi, tidak ada sanksi berupa kurungan/penjara, denda atau ganti rugi bagi suatu pelanggaran etika! Bahkan, dokter yang tak terbukti melanggar atau bersalah harus dipulihkan nama baiknya!

Dua substansi utama dalam RUU PK ialah mengenai Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis (PDPTM). Sedikit keheranan penulis adalah mengapa digunakan istilah Konsil (dari kosakata bahasa Inggris council), padahal kita telah memiliki terjemahannya, yakni Dewan. Dalam konteks itu pula, agaknya akan lebih tetap disebut sebagai Dewan Kedokteran Indonesia. Sebagai perbandingan, badan PBB Security Council tetap diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Dewan Keamanan, bukan Konsil Keamanan!

Dalam RUU PK disebutkan bahwa KKI adalah suatu lembaga negara nonstruktural dan bersifat independen, "posisi"-nya di atas semua organisasi profesi kedokteran dan kedokteran gigi, serta semua instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan pelayanan kesehatan. KKI bekerja berlandaskan UU dan berfungsi mengatur, membina, dan menetapkan tenaga medis (dokter dan dokter gigi) untuk menjalankan praktik profesinya dalam kerangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara keseluruhan. KKI diangkat dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Rincian tugas KKI adalah (Pasal 6 RUU PK): (a) Melaksanakan registrasi terhadap semua tenaga medis; (b) Menetapkan standar pendidikan bagi tenaga medis; (c) Menyaring, menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) medis dalam praktik kedokteran; dan (d) Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap semua penyelenggaraan praktik kedokteran.

Kewenangan dari KKI dalam Pasal 8 sebenarnya lebih bersifat "internal", yakni sepenuhnya ditujukan kepada para penyelenggara pelayanan kesehatan (dokter dan dokter gigi). Sebagai contoh, salah satu kewenangan KKI adalah menyetujui atau menolak permohonan registrasi tenaga medis (Ayat 1), menerbitkan atau mencabut registrasi tenaga medis (Ayat 2). Selengkapnya kewenangan KKI ini dapat dilihat pada Boks 1.

Kemudian, setiap tenaga medis yang berpraktik harus memiliki Sertifikat Registrasi Tenaga Medis (SRTM) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19. Mereka yang tidak memiliki SRTM (dan Surat Izin Praktik atau SIP) dalam berpraktik diancam dengan sanksi pidana penjara selama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150 juta (Pasal 170). Memang banyak pihak yang mempertanyakan mengapa sanksi untuk ini sangat "ringan" mengingat denda sedemikian ini dapat "dilunasi" oleh kalangan dokter tertentu hanya dengan sebulan berpraktik!

Substansi kedua yang lebih dominan dalam RUU ini ialah pasal-pasal tentang peradilan profesi, baik yang berupa Pengadilan Disiplin Profesi Tenaga Medis (PDPTM) maupun Pengadilan Tinggi Disiplin Profesi Tenaga Medis (PTDPTM), mencakup 129 pasal dari keseluruhan 178 pasal RUU ini (72,5 persen). Kedua lembaga peradilan ini pada akhirnya tetap bermuara pada Mahkamah Agung (MA). Hal baru yang menarik dalam RUU PK ialah ditunjuknya hakim-hakim dalam PDPTM maupun PTDPTM yang terdiri atas para ahli hukum dan juga tenaga medis (yang terakhir ini disebut sebagai hakim ad hoc).

Terobosan hakim ad hoc ini sangat mengesankan, mengingat selama ini pelbagai keputusan hukum dalam bidang kedokteran acap kali dilakukan oleh para hakim yang murni ahli hukum dan dengan demikian sering pula tidak dapat memenuhi rasa keadilan (khususnya bagi para dokter). Banyak nuansa profesi kedokteran yang hanya dapat dirasakan, dijelaskan, dan dihayati oleh orang-orang yang paham dengan profesi ini.

Hakikat perikatan/perjanjian dalam kontrak terapeutik misalnya adalah berdasarkan usaha yang sebaik-baiknya (inspanningverbintenis) dan bukan berdasarkan hasil semata (resultaatverbintenis)! Jadi, yang menjadi fokus dalam perkara perselisihan hukum kedokteran bukanlah sembuh atau tidaknya pasien (baca: hasil!), melainkan apakah dokter itu sudah menjalankan profesinya dengan sebaik-baiknya (ukuran tertinggi)! Para hakim yang memutuskan perkara perselisihan hukum kedokteran di negara-negara maju, misalnya, biasanya telah mendapat pengetahuan tambahan mengenai etika dan hukum kedokteran mengingat sifat dan hakikatnya yang sangat khas dan "agak berbeda" dengan hukum pada umumnya.

Mengenai gugatan atau tuntutan hukum terhadap para tenaga medis, timbul pertanyaan mengenai siapa yang dapat mengajukan tuntutan/gugatan atas kerugian yang ditimbulkan oleh praktik tenaga medis? Disebutkan dalam RUU PK bahwa "Setiap orang atau badan yang merasa dirugikan oleh tindakan tenaga medis yang menjalankan praktiknya, dapat mengajukan tuntutan secara tertulis kepada PDPTM" (Pasal 87).

Masih belum cukup jelas, apakah organisasi profesi kedokteran (seperti IDI) juga bisa mengajukan tuntutan/gugatan terhadap anggotanya (baca: dokter!) yang melanggar UU ini? Jika hal ini bisa terwujud, akan merupakan terobosan bermakna dalam rangka pengawasan dan pembinaan oleh IDI terhadap perilaku para dokter atau tenaga medis lainnya. Hal ini mengingat selama ini IDI terkesan hanya sebagai "macan ompong" bila berhadapan dengan pelanggaran-pelanggaran KODEKI maupun pelanggaran hukum.

Klausul ini juga masih menyisakan sedikit pertanyaan, bagaimana dengan dokter yang bekerja di suatu corporate atau rumah sakit? Apakah dokter itu bisa dituntut berdasarkan pasal ini jika ia melakukan kesalahan ketika sedang bekerja di corporate tersebut dan bukan di tempatnya berpraktik?

Masalah mendasar yang selama ini terjadi justru karena IDI tidak pernah merasa terusik atau dirugikan kepentingannya oleh adanya pelbagai pelanggaran oleh anggotanya; sehingga IDI terkesan sangat tidak peka dan tidak peduli, padahal yang terjadi adalah pelanggaran etika kedokteran! Kalaupun ada kepedulian itu, kemudian IDI masih juga terjebak dalam paradigma "konyol" bahwa IDI harus membela (kalau perlu secara all out!) para anggotanya! Sadar atau tidak, sikap IDI yang seperti inilah yang "menjengkelkan" masyarakat dan sekaligus menghilangkan kepercayaan kepada IDI sebagai organisasi kaum profesional/dokter!

Dalam pandangan penulis, seharusnyalah IDI membina, mengawasi, dan kalau perlu menegur atau memperingatkan para anggotanya agar selalu berperilaku dan bertindak dengan berpedoman pada KODEKI dan Sumpah Dokter sebagai landasan moral dan perilaku profesional. Jika teguran atau peringatan itu tidak digubris, IDI dan organisasi profesi medik lain seyogianya diberi kewenangan, keberdayaan, dan kesempatan untuk menuntut/menggugat tenaga medis/dokter tersebut (dan kini hal itu dimungkinkan oleh RUU PK?), baik yang anggota maupun bukan anggota IDI.

Hakikat IDI sebagai moral and ethical guard profesi kedokteran harus selalu menjadi acuan dalam kiprahnya "mengawal" profesi yang (konon) luhur dan mulia ini! Penulis berpendapat bahwa "gigi taring" IDI untuk mencabut rekomendasi izin praktik yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan selama ini terasa sangat tumpul dan tidak efisien, apalagi sekarang banyak dokter yang bukan anggota IDI!

Selanjutnya, Pasal 87 juga menguraikan alasan-alasan bagi para pihak agar dapat mengajukan gugatan/tuntutan (selengkapnya dapat dilihat dalam Boks 2). Pasal 89 menyebutkan "Pengaduan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak dilakukannya tindakan medis tersebut". Sebagai alat bukti dalam mengajukan tuntutan tersebut, Pasal 133 menyebutkan: (a) surat-surat atau tulisan (persetujuan tindakan medis, catatan medis dan bukti-bukti tulisan lainnya); (b) keterangan ahli; (c) keterangan saksi; (d) pengakuan para pihak; dan (e) pengetahuan hakim.

Secara keseluruhan, semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut diawasi dan dibina oleh suatu badan yang dibentuk khusus untuk keperluan itu, terdiri atas Menteri Kesehatan (dan/atau aparat di bawahnya) dan organisasi profesi terkait (pasal 169). Kegiatan badan ini diarahkan kepada dua hal penting, yakni (1) mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta (2) melindungi masyarakat (baca: pasien) dari tindakan yang merugikan oleh tenaga medis. Dalam konteks praktik kedokteran, maka butir kedua ini menepis anggapan bahwa UU ini hanya membela kepentingan para tenaga medis, justru sekarang terlihat bahwa masyarakat sangat terlindungi!

Siapakah yang dapat dipidana menurut RUU PK ini? Pasal 170: "Barangsiapa melakukan praktik kedokteran (a) Tanpa memiliki SRTM (Sertifikat Registrasi Tenaga Medis) dan SIP (Surat Izin Praktik); (b) Tidak memasang papan praktik kedokteran; (c) Tidak mengikuti SPM (Standar Pelayanan Medis); (d) Memberikan janji terhadap keberhasilan suatu tindakan medis; dan (e) Tidak melaksanakan atau memelihara CM (Catatan Medis); dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus limapuluh juta rupiah)".

Secara konotatif, kata "barangsiapa" menunjukkan individu (pola yang sama juga berlaku dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP!) dan dengan demikian merujuk pada orang per orang (baca: dokter!). Penulis berpandangan bahwa pelanggaran yang dilakukan (misalnya) oleh dan dalam suatu corporate seperti rumah sakit tidak termasuk dalam pengertian Pasal 170 RUU PK itu, tetapi individu dokternya (jika ia menjadi pelakunya!) bisa dituntut/digugat sebagai tenaga medis.

Memang, rasanya untuk hal-hal seperti itu (berkaitan dengan soal corporate dalam bidang pelayanan kesehatan) perlu disusun peraturan perundang-undangannya terpisah dari UU Praktik Kedokteran. Sekali lagi terlihat bahwa RUU ini sama sekali bukanlah reaksi belaka atas UU Perlindungan Konsumen karena pihak pasien tidak disebut-sebut (eksplisit atau implisit) sebagai pihak yang dapat dipidana menurut RUU PK ini!

Sudah siap?

Setelah membahas RUU PK dalam garis besarnya, timbul pertanyaan mengenai kesiapan masyarakat maupun kalangan dokter/tenaga medis. Harus diakui, bahkan di kalangan medis pun sosialisasi RUU PK ini terkesan kurang serius dilakukan, apalagi untuk "masyarakat awam"! Seorang dokter bedah senior menyatakan bahwa kalangan dokter dan dokter gigi telah siap secara formal karena memang tak ada pilihan lain (mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka!), tetapi secara kultural dan moral masih tetap menjadi pertanyaan besar!

Harus diakui, selama ini dokter dan tenaga medis lain sudah sangat terbiasa dengan iklim di mana praktik-praktik yang tidak memiliki acuan etika, moral, dan hukum dapat dijalankan tanpa ada peringatan, teguran, apalagi sanksi dari siapa pun (termasuk IDI!). Acap kali pula bentuk-bentuk praktik yang diketahui (oleh kalangan awam sekalipun!) sebagai pelanggaran etika maupun hukum toh dapat berjalan lancar tanpa pernah ada tindakan/teguran/peringatan atau sanksi apa pun dari organisasi profesi (seperti IDI), aparat yang berwenang (Departemen Kesehatan atau Dinas Kesehatan misalnya) maupun aparat penegak hukum lainnya.

Contoh-contoh itu misalnya dokter yang melakukan aborsi tanpa indikasi medis. Juga seseorang yang mencantumkan gelar dokter (bahkan dokter ahli, walaupun dokter ahli penyakit dalam tenaga chi kung!), tetapi ia tidak pernah kuliah di FK dan kemudian menyelenggarakan praktik kedokteran dengan metode sangat "aneh dan ajaib" yang tak dikenal dalam dunia kedokteran lazimnya.

Demikian pula dengan dokter umum (artinya tak pernah mengikuti pendidikan spesialisasi dan dengan demikian tidak memiliki ijazah maupun brevet sebagai spesialis!) yang bertindak dan berlaku sebagaimana dokter spesialis, termasuk melakukan pembedahan-pembedahan yang sama sekali bukan kewenangannya ("Perlukah MKEK ’Bersidang’ Juga?", Kompas, 24/7/2002). Apakah UU PK yang akan diberlakukan nanti juga akan mencakup kasus-kasus seperti itu, wallahualam bisawab, karena sampai detik ini pun pelanggaran-pelanggaran seperti itu masih tetap marak berlangsung, walaupun telah berjalan bertahun-tahun secara terang-terangan!

Di pihak lain, masyarakat juga tampaknya belum siap terhadap suatu prosedur hukum dengan adanya lembaga peradilan seperti PDPTM dan PTDPTM, di mana nanti hakim-hakimnya termasuk yang ad hoc (yakni tenaga medis!). Selama ini, masyarakat (dan media cetak/elektronik) sudah terbiasa dengan street justice dan mengabaikan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), yakni seringnya menyebut malpraktik untuk kasus yang belum diputuskan oleh pengadilan, tanpa mempertimbangkan dampak yang timbul dari publikasi seperti itu. Seorang dokter yang belum pernah menjalani proses peradilan (dan dengan demikian belum terbukti bersalah atau tidak) terkadang telah mendapat "vonis" malpraktik dan sekaligus memperoleh "hukuman" berupa character assassination!

Nah, hal-hal itulah yang sepertinya akan diupayakan untuk diakomodasi oleh RUU PK! Baik tenaga medis maupun masyarakat/pasien diharapkan dan dimungkinkan dapat memenuhi hak dan kewajiban masing-masing secara harmonis, jujur, fair, adil, dan seimbang.

Rangkuman

Para penyelenggara negara sebenarnya bisa belajar dari pengalaman keberadaan UU No 23/1992 tentang Kesehatan (atau lebih dikenal sebagai UU Kesehatan) yang sampai detik ini belum terlaksana dengan utuh (dalam usianya yang 12 tahun), karena lambannya pembentukan dan pengesahan peraturan pemerintah (PP) dan keputusan presiden (keppres) yang diperlukan sebagai implementasi UU tersebut.

Dari sekitar 50-an PP dan keppres yang dibutuhkan, baru sekitar enam atau tujuh yang telah rampung. Hingga sekarang, praktis UU No 23/1992 itu tidak bisa dilaksanakan alias macet karena peranti dan perangkat pendukungnya ternyata tidak pernah siap! Belakangan, malah sudah semakin keras suara-suara yang menghendaki UU No 23/1992 ini supaya diganti atau diamandemen!

Memang wajar sekali jika pelbagai peraturan atau UU hanya akan menjadi bahan lelucon, tertawaan, dan gunjingan belaka apabila tidak dilaksanakan dan diikuti dengan law enforcement secara tegas dan lugas. Semua orang sudah mafhum bahwa kelemahan utama bangsa ini adalah dalam melaksanakan dan mengimplementasikan suatu peraturan! Bangsa ini sangat unggul dalam membuat peraturan atau UU yang bagus-bagus, tetapi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari adalah soal lain lagi!

Penulis sangat menaruh harapan atas RUU PK ini dan berharap dapat segera disahkan oleh DPR menjadi UU. Paling sedikit, bagian yang mengandung substansi KKI atau Konsil Kedokteran Indonesia tersebut ditetapkan dulu, sedangkan bagian yang mengandung substansi lain dapat dikaji lebih mendalam dulu sebelum disahkan. Tak mungkin bagi siapa pun untuk membantah fakta bahwa rambu-rambu etika saja ternyata tidak lagi mampu mengendalikan perilaku para dokter sehingga diperlukan perangkat yang lebih tegas dan "represif", yaitu UU mengenai Praktik Kedokteran!

Patut pula kita renungkan sebuah pepatah Cina kuno berikut ini: the more laws you make, the more criminals are created! Benarkah demikian? Dalam pandangan penulis, pepatah itu hanya akan menjadi benar adanya jika suatu peraturan atau UU tidak dapat, tidak mampu, atau tidak mau dilaksanakan/diimplementasikan secara konsisten-konsekuen alias "mandul"!

Hubungan Perawat - Dokter

TANGGUNG JAWAB (RESPONSIBILITY)
DAN TANGGUNG GUGAT (ACCOUNTABILITY) PERAWAT
DALAM SUDUT PANDANG ETIK

TANGGUNG JAWAB (RESPONSIBILITY)
A. Pengertian Responsibility (Barbara kozier dalam Fundamental of nursing 1983:25)
Responsibility means : Reliability and thrustworthiness. This attribute indicates that the
professional nurse carries out required nursing activities conscientiously and that nurse’s
actions are honestly reported (Koziers, 1983:25)
Tanggung jawab perawat berarti keadaan yang dapat dipercaya dan terpercaya. Sebutan ini
menunjukan bahwa perawat professional menampilkan kinerja secara hati-hati, teliti dan kegiatan
perawat dilaporkan secara jujur. Klien merasa yakin bahwa perawat bertanggung jawab dan
memiliki kemampuan, pengetahuan dan keahlian yang relevan dengan disiplin ilmunya.
Kepercayaan tumbuh dalam diri klien, karena kecemasan akan muncul bila klien merasa tidak
yakin bahwa perawat yang merawatnya kurang terampil, pendidikannya tidak memadai dan
kurang berpengalaman. Klien tidak yakin bahwa perawat memiliki integritas dalam sikap,
keterampilan, pengetahuan (integrity) dan kompetensi.
Beberapa cara dimana perawat dapat mengkomunikasikan tanggung jawabnya :
1. Menyampaikan perhatian dan rasa hormat pada klien (sincere intereset)
Contoh : “Mohon maaf bu demi kenyamanan ibu dan kesehatan ibu saya akan mengganti
balutan atau mengganti spreinya”.
2. Bila perawat terpaksa menunda pelayanan, maka perawat bersedia memberikan
penjelasan dengan ramah kepada kliennya (explanantion about the delay). Misalnya ;
“Mohon maaf pak saya memprioritaskan dulu klien yang gawat dan darurat sehingga
harus meninggalkan bapak sejenak”.
3. Menunjukan kepada klien sikap menghargai (respect) yang ditunjukkan dengan perilaku
perawat. misalnya mengucapkan salam, tersenyum, membungkuk, bersalaman dsb.
4. Berbicara dengan klien yang berorientasi pada perasaan klien (subjects the patiens
desires) bukan pada kepentingan atau keinginan perawat misalnya “Coba ibu jelaskan
bagaimana perasaan ibu saat ini”. Sedangkan apabila perawat berorientasi pada
kepentingan perawat ; “ Apakah bapak tidak paham bahwa pekerjaan saya itu banyak,
dari pagi sampai siang, mohon pengertiannya pak, jangan mau dilayani terus”
5. Tidak mendiskusikan klien lain di depan pasien dengan maksud menghina (derogatory)
misalnya “ pasien yang ini mungkin harapan sembuhnya lebih kecil dibanding pasien
yang tadi”
6. Menerima sikap kritis klien dan mencoba memahami klien dalam sudut pandang klien
(see the patient point of view). Misalnya perawat tetap bersikap bijaksana saat klien
menyatakan bahwa obatnya tidak cocok atau diagnosanya mungkin salah.

B. Pengertian Tanggung jawab perawat menurut ANA
Responsibility adalah : Penerapan ketentuan hukum (eksekusi) terhadap tugas-tugas yang
berhubungan dengan peran tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam Pengetahuan, Sikap dan bekerja sesuai kode etik (ANA, 1985).
Menurut pengertian tersebut, agar memiliki tanggung jawab maka perawat diberikan
ketentuan hukum dengan maksud agar pelayanan perawatannya tetap sesuai standar. Misalnya
hukum mengatur apabila perawat melakukan kegiatan kriminalitas, memalsukan ijazah,
melakukan pungutan liar dsb. Tanggung jawab perawat ditunjukan dengan cara siap menerima
hukuman (punishment) secara hukum kalau perawat terbukti bersalah atau melanggar hukum.

C. Pengertian Responsibility menurut Berten , (1993:133)
Responsibility : Keharusan seseorang sebagai mahluk rasional dan bebas untuk tidak. mengelak
serta memberikan penjelasan mengenai perbuatannya, secara retrosfektif atau prosfektif (Bertens,
1993:133). Berdasarkan pengertain di atas tanggung jawab diartikan sebagai kesiapan memberikan jawaban atas tindakan-tindakan yang sudah dilakukan perawat pada masa lalu atau tindakan yangakan berakibat di masa yang akan datang. Misalnya bila perawat dengan sengaja memasang alat kontrasepsi tanpa persetujuan klien maka akan berdampak pada masa depan klien. Klien tidak akan punya keturunan padahal memiliki keturunan adalah hak semua manusia. Perawat secara retrospektif harus bisa mempertanggung-jawabkan meskipun tindakan perawat tersebut diangap benar menurut pertimbangan medis.

D. Jenis tanggung jawab perawat
Tanggung jawab (Responsibility) perawat dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Responsibility to God (tanggung jawab utama terhadap Tuhannya)
2. Responsibility to Client and Society (tanggung jawab terhadap klien dan masyarakat)
3. Responsibility to Colleague and Supervisor (tanggung jawab terhadap rekan sejawat dan
atasan)
E. Tanggung jawab perawat terhadap Tuhannya saat merawat klien
Dalam sudut pandang etika Normatif, tanggung jawab perawat yang paling utama adalah
tanggung jawab di hadapan Tuhannya. Sesungguhnya penglihatan, pendengaran dan hati akan
dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Tuhan. Dalam sudut pandang Etik pertanggung
jawaban perawat terhadap Tuhannya terutama yang menyangkut hal-hal berikut ini ;
1. Apakah perawat berangkat menuju tugasnya dengan niat ikhlas karena Allah ?
2. Apakah perawat mendo’akan klien selama dirawat dan memohon kepada Allah untuk
kesembuhannya ?
3. Apakah perawat mengajarkan kepada klien hikmah dari sakit ?
4. Apakah perawat menjelaskan mafaat do’a untuk kesembuhannya ?
5. Apakah perawat memfasilitasi klien untuk beribadah selama di RS?
6. Apakah perawat melakukan kolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan spiritual klien?
7. Apakah perawat mengantarkan klien dalam sakaratul maut menuju Khusnul khotimah?

F. Tanggung Jawab (Responsibility)perawat terhadap klien.
Tanggung jawab merupakan aspek penting dalam etika perawat. Tanggung jawab adalah
kesediaan seseorang untuk menyiapkan diri dalam menghadapi resiko terburuk sekalipun,
memberikan kompensasi atau informasi terhadap apa-apa yang sudah dilakukannya dalam
melaksanakan tugas. Tanggung jawab seringkali bersipat retrospektif, artinya selalu berorientasi pada perilaku perawat di masa lalu atau sesuatu yang sudah dilakukan. Tanggung jawab perawat terhadap klien berfokus pada apa-apa yang sudah dilakukan perawat terhadap kliennya.
Perawat dituntut untuk bertanggung jawab dalam setiap tindakannya khususnya selama
melaksanakan tugas di rumah sakit, puskesmas, panti, klinik atau masyarakat. Meskipun tidak
dalam rangka tugas atau tidak sedang meklaksanakan dinas, perawat dituntut untuk bertangung
jawab dalam tugas-tugas yang melekat dalam diri perawat. Perawat memiliki peran dan fungsi
yang sudah disepakati. Perawat sudah berjanji dengan sumpah perawat bahwa ia akan senantiasa melaksanakan tugas-tugasnya.
Contoh bentuk tanggung jawab perawat selama dinas; mengenal kondisi kliennya,
melakukan operan, memberikan perawatan selama jam dinas, tanggung jawab dalam
mendokumentasikan, bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan klien, jumlah klien yang
sesuai dengan catatan dan pengawasannya, kadang-kadang ada klien pulang paksa atau pulang
tanpa pemberitahuan, bertanggung jawab bila ada klien tiba-tiba tensinya drop tanpa
sepengetahuan perawat. dsb.
Tanggung jawab perawat erat kaitanya dengan tugas-tugas perawat. Tugas perawat secara
umum adalah memenuhi kebutuhan dasar. Peran penting perawat adalah memberikan pelayanan
perawatan (care) atau memberikan perawatan (caring). Tugas perawat bukan untuk mengobati
(cure). Dalam pelaksanaan tugas di lapangan adakalanya perawat melakukan tugas dari profesi
lain seperti dokter, farmasi, ahli gizi, atau fisioterapi. Untuk tugas-tugas yang bukan tugas perwat
seperti pemberian obat maka tanggung jawab tersebut seringkali dikaitkan dengan siapa yang
memberikan tugas tersebut atau dengan siapa ia berkolaborasi. Dalam kasus kesalahan pemberian
obat maka perawat harus turut bertanggung-jawab, meskipun tanggung jawab utama ada pada
pemberi tugas atau atasan perawat, dalam istilah etika dikenal dengan Respondeath Superior.
Istilah tersebut merujuk pada tanggung jawab atasan terhadap perilaku salah yang dibuat
bawahannya sebagai akibat dari kesalahan dalam pendelegasian. Sebelum melakukan
pendelegasian seorang pimpinan atau ketua tim yang ditunjuk misalnya dokter harus melihat
pendidikan, skill, loyalitas, pengalaman dan kompetensi perawat agar tidak melakukan kesalahan
dan bisa bertanggung jawab bila salah melaksanakan pendelegasian.
Dalam pandangan Etika penting sekali memahami tugas perawat agar mampu memahami
tanggung jawabnya. Perawat perlu memahami konsep kebutuhan dasar manusia. Konsep
Kebutuhan dasar yang paling terkenal salah satunya menurut Maslow sebagai berikut :
Gambar 1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Menurut Abraham Maslow.
Berdasarkan konsep kebutuhan dasar tersebut, perawat memegang tanggung jawab dalam
memenuhi kebutuhan dasar klien. Perawat diharapkan memandang klien sebagai mahluk unik
yang komprehensif dalam memberikan perawatan. Komprehensif artinya dalam memenuhi
kebutuhan dasar klien, tidak hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan fisiknya atau

Belonging/loving Need
SelfActualization
Self Esteem
Safety/ Security Need
Physiologies Need

psikologisnya saja, tetapi semua aspek menjadi tanggung jawab perawat. sebagai contoh ketika
merawat klien fraktur perawat tidak hanya memenuhi kebutuhan istirahat, rasa nyaman dan
terhindar dari nyeri (sleep and comport need), tetapi memandang klien sebagai mahluk utuh yang berdampak pada gangguan psikologisnya seperti cemas, takut, sedih, terasing sebagai dampak dari fraktur, atau masalah-masalah sosial seperti (tidak bisa bekerja, rindu pada keluarga, terpisah dari teman, sampai masalah spiritual seperti berburuk sangka pada Allah, tidak mau berdo’a dan perasaan berdosa. Etika perawat melandasi perawat dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut. Dalam pandangan etika keperawatan perawat memilki tanggung jawab (responsibility) terhadap-tugastugasnya terutama keharusan memandang manusia sebagai mahluk yang utuh dan unik. Utuh artinya memiliki kebutuhan dasar yang kompleks dan saling berkaitan antara kebutuhan satu dengan lainnya, unik artinya setiap individu bersipat khas dan tidak bisa disamakan dengan individu lainnya sehingga memerlukan pendekatan khusus kasus per kasus, karena klien memiliki riwayat kelahiran, riwayat masa anak, pendidikan, hobby, pola asuh, lingkungan, pengalaman traumatik, dan cita-cita yang berbeda. Kemampuan perawat memahami riwayat hidup klien yang berbeda-beda dikenal dengan Ability to know Life span History dan kemampuan perawat dalam memandang individu dalam rentang yang panjang dan berlainan dikenal dengan Holistic.

G. Tanggung jawab perawat terhadap rekan sejawat dan atasan
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan tanggung jawab perawat terhadap rekan sejawat atau
atasan. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Membuat pencatatan yang lengkap (pendokumentasian) tentang kapan melakukan tindakan
keperawatan, berapa kali, dimana dengan cara apa dan siapa yang melakukan. Misalnya
perawat A melakuan pemasangan infus pada lengan kanan vena brchialis, dan pemberian
cairan RL sebanyak 5 labu, infus dicabut malam senin tanggal 30 juni 2007 jam 21.00.
keadaan umum klien Compos Mentis, T=120/80 mmHg, N=80x/m, R=28x/m
S=37C.kemudian dibubuhi tanda tangan dan nama jelas perawat.
2. Mengajarkan pengetahuan perawat terhadap perawat lain yang belum mampu atau belum
mahir melakukannya. Misalnya perawat belum mahir memasang EKG diajar oleh perawat
yang sudah mahir. Untuk melindungi masyarakat dari kesalahan, perawat baru dilatih oleh
perawat senior yang sudah mahir, meskipun secara akademik sudah dinyatakan kompeten
tetapi kondisi lingkungan dan lapangan seringkali menuntut adaptasi khusus.
3. Memberikan teguran bila rekan sejawat melakukan kesalahan atau menyalahi standar.
Perawat bertanggung jawab bila perawat lain merokok di ruangan, memalsukan obat,
mengambil barang klien yang bukan haknya, memalsukan tanda tangan, memungut uang di
luar prosedur resmi, melakukan tindakan keperawatan di luar standar, misalnya memasang
NGT tanpa menjaga sterilitas.
4. Memberikan kesaksian di pengadilan tentang suatu kasus yang dialami klien. Bila terjadi
gugatan akibat kasus-kasus malpraktek seperti aborsi, infeski nosokomial, kesalahan
diagnostik, kesalahan pemberian obat, klien terjatuh, overhidrasi, keracunan obat, over dosis
dsb. Perawat berkewajiban untuk menjadi saksi dengan menyertakan bukti-bukti yang
memadai.
TANGGUNG GUGAT (ACCOUNTABILITY)
Acountability : The Nurse participates in making decisions and learns to live with these decisions
(Barbara Kozier, Fundamental of Nursing 1983:7, 25, ). Means being answerable Nurses have to
be answerable for all their professional activities. They must be able to explain their professional
action and accept responsibility for them. Three question naturally arise
1. To whom the nurse accountable?
2. For what the nurse accountable?
3. By what criteria is accountable measured ?
Akontabiliti dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat suatu keputusan
dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi-konsekunsinya. Perawat hendaknya memiliki
tanggung gugat artinya bila ada pihak yang menggugat ia menyatakan siap dan berani
menghadapinya. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan profesinya. Perawat harus
mampu untuk menjelaskan kegiatan atau tindakan yang dilakukannya. Hal ini bisa dijelaskan
dengan mengajukan tiga pertanyaan berikut :
1. Kepada siap tanggung gugat itu ditujukan
2. Apa saja dari perawat yang dikenakan tanggung gugat?
3. Dengan kriteria apa saja tangung gugat perawat diukur baik buruknya?
1. Kepada siapa tanggung gugat itu ditujukan
Sebagai tenaga perawat kesehatan prawat memiliki tanggung gugat terhadap klien, sedangkan
sebagai pekerja atau karyawan perawat memilki tanggung jawab terhadap direktur, sebagai
profesional perawat memilki tanggung gugat terhadap ikatan profesi dan sebagai anggota
team kesehatan perawat memiliki tanggung gugat terhadap ketua tim biasanya dokter sebagai
contoh perawat memberikan injeksi terhadap klien. Injeksi ditentukan berdasarkan advis dan
kolaborasi dengan dokter, perawat membuat daftar biaya dari tindakan dan pengobatan yang
diberikan yang harus dibayarkan ke pihak rumah sakit. Dalam contoh tersebut perawat
memiliki tanggung gugat terhadap klien, dokter, RS dan profesinya.
2. Apa saja dari perawat yang dikenakan tanggung gugat?
Perawat memilki tanggung gugat dari seluruh kegitan professional yang dilakukannya mulai
dari mengganti laken, pemberian obat sampai persiapan pulang. Hal ini bisa diobservasi atau
diukur kinerjanya.
3. Dengan kriteria apa saja tangung gugat perawat diukur baik buruknya?
Ikatan perawat, PPNI atau Asosiasi perawat atau Asosiasi Rumah sakit telah menyusun
standar yang memiliki krirteria-kriteria tertentu dengan cara membandingkan apa-apa yang
dikerjakan perawat dengan standar yang tercantum.baik itu dalam input, proses atau
outputnya. Misalnya apakah perawat mencuci tangan sesuai standar melalui 5 tahap yaitu.
Mencuci kuku, telapak tangan, punggung tangan, pakai sabun di air mengalir selama 3 kali
dsb.
MASALAH ETIK DAN MORAL DALAM KEPERAWATAN
Menurut Rosdahal, 1999: 45-46, masalah isu etik dan moral yang sering terjadi dalam praktek
keperawatan professional meliputi :
Organ transplantation (transplantasi organ).
Banyak sekali kasus dimana tim kesehatan berhasil mencangkokan organ terhadap klien yang
membutuhkan. Dalam kasus tumor ginjal, truma ginjal atau gagal ginjal CRF (chronic Renal
Failure), ginjal dari donor ditransplantasikan kepada ginjal penerima (recipient). Masalah etik
yang muncul adalah apakah organ donor bisa diperjual-belikan?, bagaimana dengan hak donor
untuk hidup sehat dan sempurna, apakah kita tidak berkewajiban untuk menolong orang yang
membutuhkan padahal kita bisa bertahan dengan satu ginjal. Apakah si penerima berhak untuk
mendapatkan organ orang lain, bagaiman dengan tim operasi yang melakukanya apakah sesuai
dengan kode etik profesi?, bagaimana dengan organ orang yang sudah meninggal, apakah
diperbolehkan orang mati diambil organnya?. Semua penelaahan donor organ harus diteliti
dengan kajian majelis etik yang terdiri dari para ahli di bidangnya. Majelis etik bisa terdiri atas
pakar terdiri dari dokter, pakar keperawatan, pakar agama, pakar hukum atau pakar ilmu sosial.
Secara medis ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan donor organ tersebut.
Diantaranya adalah memiliki DNA, golongan darah, jenis antigen yang cocok anatara Donor dan
resipien, tidak terjadi reaksi penolakan secara antigen dan antibodi oleh resipien, harus dipastikan
apakah sirkulasi, perfusi dan metabolisme organ masih berjalan dengan baik dan belum
mengalami kematian (nekrosis). Hal ini akan berkaitan dengan isu mati klinis dan informed
consent. Perlu adanya saksi yang disahkan secara hukum bahwa organ seseorang atau
keluarganya didonorkan pada keluarga lain agar dikemudian hari tidak ada masalah hukum.
Biasanya ada sertifikat yang menyertai bahwa organ tersebut sah dan legal. Pada kenyataannya
perangkat hokum dan undang-undang mengenai donor organ di Indonesia belum selengkap di
luar negeri sehingga operasi donor organ untuk klien Indonesia lebih banyak dilakukan di
Singapur, China atau Hongkong.
Menurut Cholil Uman (1994), Pencangkokan adalah pemindhan organ tubuh yang
mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak
berfungsidengan baik, yangapabila apabila diobati dengan prosedur medis biasa. Harapan klien
untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
Ada 3 tipe donor organ tubuh ;
1. Donor dalam keadaan hidup sehat : tipe ini memrlukan seleksi yang cermat dan
pemeriksaan kesahatan yang lengkap, baik terhadap donor maupun resipien untuk
menghindari kegagalan karena penolakan trubuh oleh resipien dan untk mencegah resiko
bagi donor.
2. Donor dalam keadaan koma atau diduga akan meninggal dengan sege: Untuk tipe ini
pengambilan organ donor memrlukan alat control kehidupan misalnya alat Bantu
pernafasan khusus . Alat Bantu akan dicabut setelah pengambilan organselesai. Penentuan
criteria mat secra yuridis dan medis harus jelas. Apakah criteria mati itu ditandai dengan
berhentinya denyut jantung dan pernafasan atau berhentinya fungsi otak?, masalah etik ini
gharus jelas menjadi pegangan dokter agar di kemudian hari dokter tidak digugat ssebagi
pembunuh berencana oleh keluarga bersangkitan sehubugan dengan praktek transplantasi
itu.
3. Donor dalam keadaan mati; Tipe ini merupakan tipe yang ideal , sebab secra medis
tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secra medis dan yuridis.
Dalam pandangan etik normatik (yang bersumber dari agam), transplantasi organ tubuh
termasuk masalah ijtihad, karena tidak terdapat hukumnya secra eksplisit dalam Al-Qur’an
dan Sunah. Masalah ini termasuk masalah kompleks yang harus ditanmgani oleh
multidisipliner (kedokteran, biologi, hokum, etika, agama). Pandangan keperawatan Islam
terhadap tipe 1 dimana donor dalam keadaan hidup sehat seperti mata, ginjal, jantung, korne
mata, sangat dilarang hal ini sesuai dengan firman Allah surat Al-baqarah ayat 195 “ dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. “ menghindari kerusakan
harus didahulukan daripada mengambil kemanfaatan”. Artinya menolong orang dengan cara
mengorbankan dirinya sendiri yabg berakibat fatal bagi dirinya tidak diperbolehkan.
Pandangan keperawatan islam terhadap donor tipe 2 ; apabila pencangkokan pada mata,
ginjal, jantung, dari donor dalam keadaan koma atau hampir meninggal, hal ini juga dilarang
karena ia telah membuat mudarat kepada donor yang menyebebakan mempercepat
kematiannya. Hal ini sesuai dengan Hadit Riwayat malik : “Tidak boleh ,membuat mudarat
pada dirinya dan tidak boleh membikin mudarat pada orang lain”.
Apabila pencangkokan mata, ginjal atau jantung dari donor yang telah meninggal atau
tipe 3, secara yuridis dan klinis, maka Islam membolehkan dengan syarat :
1. Resipien (penerima organ) berada dalam keadaan darurat yang mengancam dirinya
setelah menmpuh berbagai upaya pengobatan yang lama
2. Pencangkokan tidak akan menimbulkan akibat atau komplikasi yang lebih gawat
3. Telah disetujui oleh wali atau keluarga korban dengan niat untuk menolong bukan untuk
memperjual-belikan
Determination of clinical death (perkiraan kematian klinis)
Masalah etik yang sering terjadi adalah penentuan meninggalnya seseorang secara klinis. Banyak
kontroversi cirri-ciri dalam menentukan mati klinis. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan organorgan
klien yang dianggap sudah meninggal secra klinis. Menurut rosdahl (1999), criteria
kematian klinis (brain death) di beberapa Negara Amerika ditentukan sebagai berikut :
 Penghentian nafas setlah berhentinya pernafasan artifisalselama 3 menit (inspirasi-ekspiorsai)
 Berhentinya denyut jantung tanpa stikulus eksternal
 Tidak ada respon verbal dan non verbal terhadap sti,ulus eksternal
 Hilangnya refleks-refleks (cephalic reflexes)
 Pupil dilatasi
 Hilangnya fungsi seluruh otak yang bisa dibuktikan dengan EEG
Quality of Life (kualitas dalam kehidupan)
Masalah kulitas kehidupan sering kali menjadi masalah etik. Hal ini mendasari tim kesehtan
untuk mengambil keputusan etis. Apakah seorang klien harus mendapatkan intervensi atau tidak.
Sebagai contoh bagaiamana bila di suatu tempat tidak ada donor yang bersedia dan tidak ada
tenaga ahli yang dapat memberikan tindakan tertentu?. Siapa yang berhak memutuskan tindakan
keperawatan pada klien yang mengalami koma. Siapa boleh memutuskan untuk menghentikan
resusitasi?, Beberapa hal berikut dapat dijadikan pertimbngan misalnya apabila klien sudah
memapu untk bekerja, apabila klien sudah berfungsi secra fisik, berdasarkan usia, berdasarkan
mafaat terhadap masyarakat, berdasarkan kepuasaan atau kegembiraan klien, kemaampuan
untyuk menolong dirinya sendiri, pendapat keluarga klien terdekat atau penaggung jawab klien.
Contoh kasus apakah klien TBC tetap klita Bantu untuk minum obat padahal ia masih
mampu untuk bekerja?, kalau ada dua klien bersamaan yang membutuhkan satu alat siapa yang
didahulukan ?, Apabila banyak klien lain membutuhkan alat tetapi alat tersebut sedang digunakan
oleh klien orang kaya yang tidak ada harapan sembuh apa yang harus dilakukan perawat ?,
aapabila klien kanker merasa gembira untuk tidak meneruskan pengobatan bagaiaman sikap
perawat?, Bila klien harus segera amputasi tetapi klien tidak sadar siapakah yang harus
memutuskan?.
Ethical issues in treatment (isu masalah etik dalam tindakan keperawatan)
Apabila ada tindakan yang membutuhkan biaya besar apakah tindakan tersebut tetap dilakukan
meslipun klien tersebut tidak mampu dan tidak mau ?, apabila tim kesehatan yang memutuskan
maka hal ini dikenal dengan mencari keuntungan atau berbuat kerusakan (Beneficience), Apabila
klien yang memutuskan maka hal ini mungkin termasuk hak otonomi klien (autonomy),
dapatkah klien menolak sesuatu. Masalah-masalah etik yang sering muncul seperti :
- Klien menolak pengobatan atau tindakan yang direkomendasikan (refusal of
treatment) misalnya menolak fototerapi, menolak operasi, menolak NGT, menolak
dipasang kateter
- Klien menghentikan pengobatan yang sedang berlangsung (withdrawl of
treatment)misalnya DO berobat pada TBC, DO kemoterapi pada kanker
- Witholding treatment misalnya menunda pengobatan karena tidak akada donor
atau keluarga menolak misalnya transplantasi ginjal aatau cangkok jantung.
Euthanasia (masalah mengakhiri kehidupan dengan maksud menolong)
Euthanasia sering disebut dengan “Mercy Killing” yang diartikan sebagai sutu cara mengambil
kehidupan klien untuk menghentikan penderitaan yang dihadapi klien tersebut. Hal ini dapat pula
diartikan sebagai proses pengunduran diri atau menghentikan intervensi tertentu dalan keadan
kritis dengan maksud untuk mengurangi penderitaan klien. Terminology lain yang digunakan
adalah “assited suicide” dimana pandangan hokum di Negara barat terhadap kasus ini berbedabeda.
Di Indonesia euthanasia Killing mutlak tidak diperbolehkan dengan alas an apapun.
Sebenaranya dalam pandangan etika normatif, kelahiran, kematian, jodoh, rezeki adalah
ketetapan Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
Al-Baqarah (2) : 28
“Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya benda mati, lalu Allah
menghidupkanmu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, selanjutnya kepada-
Nya lah kamu dikembalikan”
As-Sajdah (32) : 9
“Lalu disempurnakan-Nya kejadiannya, ditiupkan-Nya ruh ciptaan-Nya kepada tubuh dan
dilengkapi-Nya kamu dengan pendengaran, penglihatan dan pemikiran. Namun sedikit sekali
kamu yang bersyukur”
Dalam pandangan etika normative, Masalah kematian dan hidup manusia telah diprogram oleh
Allah. Manusia asalnya segumpal darah kemudian berubah sebagai janin hidup dalam kandungan
ibu sampai mencapai waktu lahir (36/37 minggu). Kemudian Allah menetapkan kelahirannya.
Selanjutnya dipelihara dan dibesarkan (diberi rizki) oleh Allah, ditetapkan jodohnya menjadi
orang tua menuju kematian. Melakukan bunuh diri atau mengakhiri hidup di luar ketentuan Allah
adalah dosa besar yang bertentangan dengan etika formal dan etika normatif.

Masalah etik secara umum
Menurut Taylor (1997), masalah etik yang sering terjadi secara umum dapat dibagai menjadi tiga
kelompok
1. Masalah etik perawat-klien (nurses and clients)
Paternalism (masalah budaya paternal)
Masalah etik perawat klien sering terjadi karena faktor paternalism. Misalnya pada saat klien
harus diisolasi atau dilakukan restrain terjadi konflik karena klien lansia menolak untuk
didampingi perawat. padahal keluarnya klien dari kamar dianggap mengancam jiwa dan dan
keselamatan fisiknya. Tetapi dalam hal ini perawat menganggap penghormatan kepada klien
sebagai orang tua adalah lebih utama terutama dalam budaya paternalistik.
Deception (membohongi klien)
Misalnya pada saat klien post op bertanya kepada siwa tentang siapa yang akan memberikan
injeksi intramuscular penghilang sakit, maka siswa menjadi cemas karena hal ini pertama kali
ia lakukan. Tepai perawat mengatakan bahwa siswa tersebut sering melakukan injeksi pada
klien post op.
Confidentiality (masalah kepercayaan klien)
Klien menangis dan menyatakan bahwa ia sudah tidak punya uang untuk membayar
pengobatan karena ia masuk RS dibawa polisi, apabila perawat percaya dan menolong klien
untuk membebaskan dari biaya pengobatan apakah ini sesuai dengan kaidah etik?, kalau
perawat membiarkan tidak menolong apapakah sesuai dengan kaidah etik ?
Allocation of Scarce Nursing resources (masalah membagi perhatian perawat)
Saat dinas malam jam 13.00 perawat sedang sibuk memasang infus klien dehidrasi berat dan
memberikan injeksi Sulfas atropine tiap 15 menit kepada klien keracunan pestisida. Saat
bersamaan datang klien Ca mammae kesakitan dank lien serangan jantung kepada klien
manakah tenaga dan pikiran perawat di fokuskan?
informed consent (masalah pemberian informasi pada klien)
Seorang dokter res diden menganjurkan perawat untuk segera menyuntikan analgetik pada pada spinal klien karena klien sangat kesakitan, sementara dokter tersebut sedang sibuk melakukan punksi pada tulang belakang klien, apakah perawat akan melakukan ini tanpa
memberikan informed consent terlebih dahulu ? Conflicts betweent the client’s and nurses’s interest (Masalah konflik klien dan tata nilai
perawat) Saat perawat melakukan test HIV AIDs pada klien, perawat menolak karena ia sedang hamil dan takut bayinya tertular HIV AIDs.
2. Masalah etik perawat-dokter (nurses and physicians)
Disagreement about proposed medical regiment (Tidak setuju dengan pengobatan yang
disanakan dokter). Dalam pengalaman klien bahwa obat penicillin yang diresepkean dokter seringkali menimbiulkan alergi pada sebagaian besar klien, saat dokter memebrikan terapi yang sama maka perawat menolak memberikan karena biasanya klien akan komplain kepada perawat (The nurse Role conflicts) Konflik masalah peran dan fungsi perawat Dibalai pengobatan perawat biasa melakukan sirkumsisi, operasi kecil dan pemberian cairan infuse, padahal menurut undang-undang kesehatan dokter memklaim bahwa tibdakan tersebut hanya boleh dilakukan oleh dokter. Padahal dokter jarng ada di tempat saat terapi harus
diberikan Physician incompetence (Dokter yang tidak kompeten). Dalam suatu Rumah Sakit ditempatkan seprang dokter yang belum mahir mengambil darah dan memasang infus, hal ini menyebabkab ketidaknyamanan pada klien. Dalam kasus lain dokter bedah baru menyebabkan lambanya proses operasi sehingga klien mengajukan komplain kepada perawat.
3. perawat dengan institusi dan kebijakan public (nurses and institusional, public policy)
short staffing (terbatasnya tenaga perawat). Terbatasnya tenaga perawat di puskesmas pembantu atau di wilayah terpencil menyebabkan perawat melakukan semua aktivitas sendirian, mulai dari anamnesa, diagnosa, pengobatan, perawatan, rehabilitasi sampai penyuluhan. healthcare rationing (rasio tenaga keshatan) terbatasnya tenaga kesehatan menyebabkan ternbatasnya pelayanan perawat kepada masyarakat daerha terpencil, terutama bila terjadi wabah atau bencana alam, di sisi lain peran perawat untuk menjamin kesehatan masyarakat harus dilaksanakan secra optimal
4. Masalah etik perawat dengan komisi etik (nuses and Ethics Committees)
Fungsi komisi etik adalah untuk pendidikan, membuat keputusan, melakukan peninjauan kasus, dan sebagai konsultasi atau rujukan akhir. Komisi ini sangat penrting sebab beranggotakan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan ahli di bidangnya masingmasing. mereka memilki kemampuan untuk berdiskusi dan melakukan sharing. Banyak peran perawat sebagai client advocate bersuara secra unik dalam forum ini dengan maksud untuk membela kepentingan klien.




Referensi :
Barbara kozier, 1983, Fundamental of nursing
Bertens, 1993, Etika
Lucie Young Kelly, 1981, Dimension of professional Nursing, fourth edition, Macmillan
publishing London
Caroline Bunker Rosdahal, 1999, Text Book of Basic Nursing, Lippincot, Philadelphia,
Newyork, Baltimore
Cholil Uman, 1994, Agama menjawab tentang berbagai masalah Abad modern, Ampel Suci
Surabaya
Taylor, Lilis, LeMone, 1997, fundamental of nursing the Art and Sciences of Nursing care,
Lippincott Philadelphia Newyork

Harga diri, identitas sosial dan konflik antar kelompok

Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air.

Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar etnik. Dalam bagian ini akan diketengahkan bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnik.

Apakah konflik?

Apakah konflik? Lebih spesifik apakah konflik antar etnik? Menurut Hocker dan Wilmot (dalam Isenhart dan Spangle, 2000) konflik adalah ekpresi perjuangan diantara minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan tertentu, dimana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan, memperebutkan sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak lain dalam upaya pencapaian tujuan. Definisi konflik diatas mencakup segala tindakan yang merupakan efek dari perjuangan mencapai tujuan, seperti saling memaki atau permusuhan verbal, menghindari pertemuan, perkelahian, perang, dan lainnya. Konflik bisa dalam skala besar bisa juga kecil. Memaki pihak lawan ketika bertemu di jalan mungkin hanya merupakan konflik skala kecil. Tapi itupun tergantung konteksnya, karena kalau yang bertemu dan saling memaki itu merupakan pemimpin dua belah pihak yang sedang berkonflik, efeknya bisa sangat besar.

Kita semua hampir selalu mengidentikkan konflik dengan pertentangan. Akan tetapi pertentangan tidak selalu bermakna konflik. Tidak semua pertentangan menciptakan konflik. Pertentangan yang terjadi antara dua pihak dalam forum diskusi misalnya, jarang sekali menimbulkan konflik. Menurut Gurr (1980) kriteria agar sebuah pertentangan bisa dikatakan sebagai sebuah konflik adalah :
Sebuah konflik melibatkan minimal dua pihak atau lebih.
Pihak-pihak tersebut saling tarik menarik dalam aksi saling memusuhi
Mereka cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan pihak lawan
Hubungan pertentangan diantara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas karena peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan.
Konflik antar etnik berarti dua pihak yang berlawanan adalah dua atau lebih kelompok etnik. Dalam konflik itu sendiri bisa saja pelakunya mengatasnamakan etnik dan bisa juga tidak. Demikan juga lawan dalam konflik bisa disebutkan mengatasnamakan etnik bisa juga tidak. Dalam kasus konflik antara etnik Madura dan etnik Dayak, jelas sekali mereka membawa bendera etnik. Pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, tampak sekali bahwa sasaran kerusuhan adalah etnik Cina, sementara pelakunya etnik mana tidak jelas. Namun demikian, kerusuhan Mei di Jakarta, tetap bisa disebut konflik antar etnik, karena setidaknya salah satu pihak bisa diidentifikasi sebagai etnik mana.

Seringkali terjadi segerombolan pemuda etnik tertentu berkelahi dengan gerombolan pemuda etnik lain karena memperebutkan seorang gadis. Apakah hal ini juga bisa disebut konflik antar etnik? Apabila tidak melibatkan struktur dalam etnik masing-masing dalam konflik, maka perkelahian itu tidak bisa disebut konflik antar etnik. Perkelahian disebut perkelahian antar etnik bila telah membawa identitas etnik masing-masing.

Sumber konflik antaretnik

Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan). Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2) karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka.

Bisa kita lihat, bahwa apa yang dikemukakan Sukamdi di atas merupakan turunan dari apa yang disampaikan faturochman mengenai penyebab konflik. Benturan budaya antar etnik terjadi karena adanya kategori atau identitas sosial yang berbeda. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrik yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, halmana juga merupakan sumber konflik yang potensial. Terkait dengan resolusi konflik, karena konflik dimunculkan salah satunya karena adanya identitas budaya, yang mengandaikan adanya perbedaan dalam memahami realitas, maka sangatlah penting untuk membuat suatu resolusi konflik yang mempertimbangkan asal budaya (Kumolohadi & Andrianto, 2002). Seringkali pelaksana resolusi konflik gagal menjalankan perannya dalam menghentikan konflik antaretnik karena metode yang dipakai mengharuskan adanya sikap dan persepsi tertentu dari mereka yang bertikai, tapi sementara itu mereka yang bertikai memiliki sikap dan persepsi terhadap konflik yang beragam akibat perbedaan budaya.

Persoalan ekonomi sebagai penyebab konflik antar etnik merupakan sesuatu yang tak terbantah, meskipun tentu tidak semua konflik antar etnik ditimbulkan karena persoalan ekonomi belaka. Ketersediaan sumber daya ekonomi di suatu wilayah menjadi indikator penting bagi kemungkinan terjadinya konflik. Semakin mudah sumber daya itu didapatkan oleh setiap orang, maka kemungkinan konflik juga semakin rendah. Sebaliknya semakin langka sumber daya yang tersedia sehingga terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumber daya maka kemungkinan terjadinya konflik semakin besar. Persoalan ekonomi juga menyangkut distribusi sumber daya. Ketidakjelasan aturan dalam kompetisi memperebutkan sumber daya merupakan sumber konflik yang potensial. Dalam hal ini ketidakjelasan aturan bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya ketidakadilan. Adanya kesenjangan sosial sebagai akibat adanya kesenjangan ekonomi yang besar merupakan cerminan dari adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Bila terjadi kesenjangan yang besar antar berbagai kelompok etnik maka kemungkinan terjadinya konflik juga semakin besar, karena perasaan ketidakadilan akan mendorong timbulnya semangat perlawanan.

Sementara itu peranan politik dalam konflik antar etnik berkaitan dengan adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap adanya konflik. Haryanto (2002) menunjukkan bahwa konflik sosial yang terjadi di Indonesia salah satu akar permasalahannya adalah adanya faktor pemicu, selain faktor adanya deprivasi antar kelompok masyarakat dan faktor dominasi sosial, politik, dan agama. Faktor pemicu konflik antar etnik mungkin dimunculkan secara sengaja oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Penguasaan sumber daya tertentu yang diinginkan oleh beberapa pihak mungkin menjadi salah satu sebab yang membuat pihak-pihak yang terlibat menggunakan konflik antar etnik sebagai jalan untuk memenangkan persaingan. Hal ini bisa dilihat dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari adanya konflik.

Faktor pemicu dengan sendirinya mengandaikan telah adanya faktor-faktor yang potensial mencipta konflik. Berbagai sebab konflik seperti yang dikemukakan Faturochman diatas, diandaikan telah ada dalam masyarakat. Dalam hal ini faktor prasangka merupakan determinan penting. Semakin besar prasangka antar etnik yang timbul maka semakin sedikit faktor pemicu yang diperlukan untuk menciptakan konflik antar etnik secara terbuka. Faktor prasangka sendiri seperti yang telah dibahas dalam bab tiga, bisa dimunculkan oleh lima sebab lainnya. Sehingga sangat beralasan kalau dinyatakan bahwa prasangka merupakan sumber konflik antar etnik terbesar.

Konflik antar etnik yang paling sering terjadi di Indonesia melibatkan etnik Cina sebagai korban, dan etnik lainnya sebagai pemegang inisiatif. Beberapa konflik menunjukkan skala yang luas dan berat, sementara yang lain berskala lebih kecil dan lokal. Menurut Arifin (1998) konflik antar etnik yang melibatkan etnik Cina tidak banyak terkait dengan dengan soal rasial dan pengakuan masyarakat terhadap mereka. Hal ini terlihat dari kenyataan, bahwa pada umumnya sasaran kerusuhan dan amuk massa berbentuk perusakan, penjarahan, dan pembakaran terhadap hak milik, dan bukan dalam bentuk rasa permusuhan terhadap etnis Cina, dan pembunuhan jiwa. Setelah tahun 70-an kerusuhan lebih banyak terkait dengan persoalan sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya kerusuhan di Medan (1995), di Situbondo (1996), di Jakarta (14-15 Mei 1998) dan di Solo (1998) lebih dipicu oleh persoalan dominasi ekonomi dan kolusi oleh kelompok-kelompok elit WNI etnis Cina dengan kekuasaan.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya etnis Cina merupakan penggerak perekonomian Indonesia yang utama. Mereka menguasai sebagian besar sektor perekonomian sehingga memiliki sumber daya ekonomi paling besar. Sayangnya, keberhasilan etnis Cina itu tidak berbarengan dengan keberhasilan etnis lain dalam mencapai kemakmuran. Dalam bahasa ekstrim, etnis Cina merupakan pemenang kompetisi perebutan sumber daya sementara etnis lain sebagai pihak yang dikalahkan. Sayangnya pula kesenjangan ekonomi antara etnis Cina dan etnis lain cukup besar, bahkan makin melebar dari waktu ke waktu. Kenyataan ini mendorong adanya deprivasi relatif, dimana seseorang merasa tidak mendapatkan kemakmuran yang ingin dicapai meskipun telah berupaya keras mendapatkan (menurutnya). Deprivasi ini, sebagaimana yang telah kita lihat, merupakan sumber dari adanya prasangka dan konflik. Jadi, etnik bukanlah merupakan sumber konflik. Kesenjanganlah yang menjadi sumber konflik utama halmana telah memunculkan prasangka, sedangkan etnik sebagai sebab-sebab yang memadai.

Selain adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa untuk melakukan perusuhan terhadap etnis Cina (disinyalir kerusuhan Mei 1998 di Jakarta massa di kerahkan pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu. Baca “Kapok Jadi Nonpri’, terbitan Zaman Wacana Mulia). Nampaknya jelas bahwa kerusuhan yang melibatkan etnis Cina lebih merupakan persoalan ekonomis. Adapun dari persoalan-persoalan ekonomi itu terciptalah berbagai prasangka yang menciptakan jarak sosial yang lebar antar etnis. Dan dalam konflik, prasangka digunakan untuk menjustifikasi tindakan destruktif yang dilakukan terhadap etnis Cina.

Siahaan (2002) menunjukkan bahwa berbagai prasangka, generalisasi, stereotip, serta tuduhan yang secara konvensional dialamatkan kepada etnik Cina ternyata tidak selalu faktual (tidak didukung fakta). Terbukti bahwa segala asumsi dan tesis mengenai Cina di tingkat makro (nasional) tidak selalu koheren dengan realitas lapangan (lokal). Misalnya dalam tingkat makro selalu didengung-dengungkan etnis Tonghoa bertindak secara eksklusif dan tidak mau bergaul dengan etnis lain, pada kenyataannya di tingkat lokal justru banyak sekali etnis Cina yang sudah sulit dibedakan identitas kecinannya. Mereka melebur dalam masyarakat secara keseluruhan.

Dalam sebuah penelitian di Kalimantan Barat, Siahaan (2002) menemukan bahwa secara empiris terbukti bahwa sukses dan dominasi ekonomi Cina bukan merupakan fungsi ras serta bakat, dan juga bukan semata-mata berkait konsesi dan privilese, tetapi hasil pemanfaatan peluang setempat secara tepat, cepat, efisien, dan efektif. Dalam sejarah, semangat dan etos kerja, daya juang, dan keuletan perantau cenderung menjadi determinan yang memungkinkan keunggulan dan keberhasilan kelompok perantau itu di atas penduduk lokal. ‘Keterasingan dan kesendirian’ sang perantau di negeri seberang, jauh dari sanak saudara dan sahabat yang dapat dimintai bantuan, lebih besar peranannya sebagai pendukung motivasi dan semangat kerja daripada faktor-faktor bawaan seperti bakat, budaya, dan ras.

Namun sementara itu prasangka yang berkembang terhadap mereka, beberapa juga melandaskan pada kesuksesan yang diraih etnis Cina. Seperti misalnya berkembang anggapan bahwa dalam berbisnis etnis Cina sering bermain curang dan suka menyuap pihak penguasa untuk mendapatkan konsesi ekonomi. Halmana membuat mereka cepat sekali sukses. Lalu jika ada etnis Cina datang untuk berbisnis di suatu wilayah, maka segera akan mendatangkan rekan-rekannya sesama etnis Cina untuk berbisnis di daerah itu dan akan mematikan bisnis warga setempat. Maka akibatnya dibanyak tempat bisa ditemui dimana etnis Cina dilarang melakukan perdagangan.

Sebenarnya konflik antar etnis yang melibatkan etnis Cina sesuatu yang memang sangat mungkin terus terjadi bahkan untuk waktu-waktu mendatang. Menurut analisis Amy Chua, seorang profesor dari Yale University, dimana ada sekelompok minoritas etnis yang mendominasi pasar dan sekaligus ada sistem politik yang menganut demokrasi, bisa diramalkan akan terjadi serangan terhadap kelompok minoritas Menurutnya terjadinya konflik bukan persoalan membaur atau tidak membaurnya etnik minoritas dengan etnik mayoritas, sebagaimana yang secara konvensional kita pahami. Masalahnya ada pada terdapatnya market-dominant minorities, yaitu keberadaan kelompok minoritas yang kaya raya yang memperolehnya berkat ekonomi pasar. Sistem pasar pada saat ini sudah menjadi semacam dogma yang tidak boleh dilanggar. Akan tetapi, justru sistem yang dipuji-puji inilah yang melahirkan sekelompok kecil yang kebetulan adalah kelompok minoritas etnis yang memiliki kekayaan menonjol. Oleh karena hal itu tumbuhlah iri hati kelompok mayoritas. Lalu bagaimana menyalurkan kemarahan itu? Lewat proses demokrasi. Dalam sistem demokrasi, kemenangan kelompok mayoritas dijamin ketika berhadapan dengan kelompok minoritas. Maka, tidak mengherankan justru ketika proses demokratisasi dimulai, dimulai juga serangan terhadap kelompok market-dominant minorities (untuk Indonesia etnis Cina). Kemenangan kelompok mayoritas dalam pemilu menjadi legitimasi untuk menetapkan kebijakan dan peraturan yang membatasi, bahkan memangkas hak-hak dari kelompok market-dominant minorities. Padahal demokrasi merupakan dogma wajib pada saat ini. Kesimpulannya, selama sistem ekonomi pasar dan demokrasi secara bersamaan diterapkan maka kekerasan terhadap market-dominant minorities akan terus berlanjut. Untuk konteks Indonesia, etnis Cina diramalkan akan terus menghadapi tantangan kekerasan terhadap mereka (Paragraf ini meringkas dari Review Buku Prof. Amy Chua, oleh I Budiman dalam kompas 20 maret 2004, h.45).

Setelah membahas konflik antar etnik yang terkait dengan etnik Cina, sekarang kita akan membicarakan konflik antar etnik yang paling besar yang pernah terjadi di Indonesia, yakni konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan beberapa tahun lalu (tragedi Sambas dan Sampit), dimana ribuan orang terbunuh dan puluhan ribu lainnya harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Hidayah (2002) menyebutkan bahwa sebenarnya pemantik konflik hanya disebabkan oleh perkelahian antar pemuda etnis dayak dengan etnis madura. Akan tetapi karena dalam perkelahian itu ada yang terbunuh maka muncullah solidaritas dan balas dendam kesukuan karena pada konflik tersebut terjadi pembunuhan, dan kemudian diperkuat pula oleh prinsip-prinsip adat sehingga konflik menjadi berkepanjangan dan membawa korban yang luar biasa besar.

Banyak analisis telah dilakukan untuk mencari tahu akar dari adanya konflik. Selain analisis yang menunjukkan adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja mengorganisir terjadinya kekerasan, ada banyak analisis lain yang mendasarkan pada berbagai perspektif. Sebuah analisis menyimpulkan bahwa terjadinya perebutan sumber daya ekonomi yang semakin terbatas yang telah menyebabkan terjadinya konflik. Dulu saat sumber daya ekonomi cukup melimpah dan mudah didapatkan maka konflik terhindarkan. Akan tetapi begitu sumberdaya ekonomi semakin terbatas dan semakin banyak orang memperebutkannya maka terjadilah kompetisi perebutan sumberdaya. Sebagai konsekuensi logis dari adanya kompetisi perebutan sumber daya adalah terciptanya prasangka antar etnik. Dan lalu adanya prasangka terhadap etnik lain menjadi justifikasi kekerasan terhadap etnik tersebut.

Sebagai lanjutan dari analisis diatas, analisis lain menunjukkan bahwa adanya kesenjangan ekonomi antara etnis Dayak dan etnis Madura sebagai penyebab konflik. Kesenjangan ekonomi itu tercipta sebagai konsekuensi dari adanya kompetisi perebutan sumberdaya ekonomi dimana relatif etnis Madura memenangkannya. Namun menurut Purbangkoro (2002) kondisi sosial ekonomi etnik Madura dan etnik lain relatif sama sehingga tak ada alasan yang menyatakan telah terjadi kecemburuan sosial antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan.

Sementara itu Asykien (2001) menunjukkan bahwa konflik antar etnik itu terjadi karena sifat negatif keduanya. Sifat-sifat kurang terpuji etnik Dayak : 1) Fanatis dan mendewakan kesukuan, 2) tidak punya tenggang rasa dan pendengki etnis yang dimusuhi, 3) menggeneralisasikan kesalahan orang-perorang kepada keseluruhan etnis, 4) melestarikan budaya mengayau, 5) suka menyebarluaskan kebencian dan prasangka buruk. Sedangkan sifat-sifat etnik Madura yang menimbulkan dendam etnik lain : 1) mencuri, menjambret, dan menipu, 2) menempati tanah orang lain tanpa izin, 3) membuat kekacauan dalam perjudian, 4) melanggar lalu lintas, 5) merampas milik etnik lain di penambangan emas. Dari sifat-sifat negatif yang diklasifikasikan Asykien diatas menjadi jelas bahwasanya pertentangan antar etnis merupakan kulminasi dari adanya prasangka etnik. Berbagai keburukan anggota etnik lain dicatat, disimpan, dan digunakan sebagai dasar dalam bergaul dengan etnik tersebut, meskipun toh sebetulnya pelakunya hanyalah segelintir orang saja. Rupa-rupanya generalisasi sifat-sifat buruk seseorang menjadi sifat-sifat buruk kelompok yang telah menjadi penyebab berkembangnya prasangka etnik di Kalimantan. Akibatnya kesalahan satu orang atau kelompok kecil orang juga digeneralisasikan ke keseluruhan etnik. Seterusnya konflik antar etnik tinggal menunggu saat yang tepat.

Sekarang kita akan mencoba melihat kasus Ambon yang juga berskala besar pada tahun-tahun awal reformasi. Pertikaian yang membawa ribuan korban itu bermula dari isu etnis yang kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga tidak kunjung selesai hingga hari ini. Sebelum terjadi konflik, praktis kehidupan ekonomi di Ambon dikuasai oleh tiga etnis yaitu Buton, Bugis, dan Makassar, yang notabene merupakan etnis pendatang dari Sulawesi, sementara itu orang Ambon sendiri kurang memiliki peranan dalam bidang ekonomi. Keadaan demikian mudah saja kita mengerti bila menimbulkan konflik antar etnik. Sebab pertama mungkin adalah timbulnya deprivasi orang Ambon dimana mereka merasa kalah di tanah sendiri oleh pendatang. Sebab kedua, munculnya prasangka mayoritas-minoritas, sebagaimana yang juga terjadi di berbagai tempat lain di Indonesia terhadap etnis Cina. Prasangka muncul karena etnis Buton, Bugis, dan Makassar sebagai minoritas menguasai perekonomian di Ambon. Sebab ketiga, munculnya faktor pemicu, yakni dihembuskannya isu keagamaan oleh pihak-pihak tertentu dalam isu etnisitas. Di Ambon ternyata etnisitas tumpang tindih dengan keagamaan. Etnis Bugis, Buton dan Makassar notabene beragama Islam dan orang Ambon umumnya beragama kristen.

Pengusiran etnis Bugis, Buton dan Makassar (BBM) dari Ambon oleh orang-orang Ambon asli pada awalnya boleh jadi hanya dipicu oleh persoalan etnisitas belaka, mirip dengan pertikaian antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan. Namun jika hanya persoalan etnisitas tentunya begitu etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon maka selesailah sudah permasalahan di Ambon. Faktanya, konflik di Ambon justru semakin menghebat. Setelah etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon, kemudian yang berkonflik adalah orang Ambon yang beragama Islam kontra orang Ambon yang beragama kristen. Selanjutnya, konflik itu terus menerus membesar dan dilabeli konflik antar agama. Secara gampang bisa dikatakan bahwa konflik antar agama di Ambon muncul sebagai bentuk solidaritas agama. Tatkala etnis Bugis, Buton, dan Makassar yang beragama Islam terusir oleh orang Ambon yang beragama Kristen, lalu muncullah rasa solidaritas sesama muslim pada orang Ambon yang beragama Islam. Akibatnya kemudian pertikaian yang terjadi adalah antara penganut agama Islam dan agama Kristen.

Akibat konflik yang luas dan merusak antara penganut agama, muncullah prasangka masing-masing pihak terhadap pihak lain, halmana menyulitkan upaya rekonsiliasi. Prasangka inilah yang terus-menerus, sampai saat ini, menyebabkan potensi konflik antar agama di Ambon tetap besar. Menurut seorang teman dari Ambon, sampai saat ini masih sering terjadi konflik-konflik kecil di Ambon yang berpotensi melahirkan konflik berskala besar kembali. Jadi, konflik yang berawal dari adanya prasangka kemudian menghasilkan prasangka pula.

Di Indonesia, agama merupakan isu utama yang paling sensitif dalam menimbulkan konflik, sedangkan urutan kedua adalah etnis. Pada kasus pertikaian terhadap etnis Cina, dan pertikaian etnis di Kalimantan, persoalannya hanyalah persoalan etnisitas. Sedangkan pada kasus Ambon pertikaian yang terjadi dimulai dengan isu etnisitas tetapi kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga persoalannya lebih kompleks. Semua kasus diatas dipicu salah satunya oleh prasangka yang kemudian juga melahirkan prasangka. Hubungan prasangka dengan konflik antar etnis seperti lingkaran setan. Prasangka melahirkan konflik antar etnis, dan konflik antar etnis melahirkan prasangka.



Krisis Identitas Etnis Cina di Indonesia

Abstract
The article is made to analysis the mechanism of finding th Indonesian Chinese identity in the scoop of social identity. Up till now, the Indonesian Chinese are still seeking for their identity. Some traumatic event and happening had made th Indonesian Chinese suffered so much. Among others are the 1965 Communist rebellion, the hazardous ethnical harassment in May 1998, the race discrimination, mistreated, antipathy and prejudice from several group. All mentioned above have made the Indonesian Chinese confuse to make a certain choice for their identity.
Key words: social identity
Pendahuluan
Di kalangan orang bukan Cina seringkali terjadi kebingungan untuk menyebut orang Cina dengan sebutan Cina, Tionghoa, Chinese ataukah Cino. Dalam beberapa kesempatan ketika penulis melakukan penelitian terhadap subyek mahasiswa dan siswa SMU etnis Cina, sebagian subyek mengubah kata Cina dalam kuesioner dengan Tionghoa. Budiman (1998) sebagai orang keturunan Cina mengakui bahwa di kalangan orang Cina sendiri ada keinginan kuat untuk mengganti istilah Cina dengan Tionghoa, terutama setelah kejatuhan Soeharto dan Orde Barunya. Istilah Cina sebenarnya merupakan ‘hukuman’ yang diberikan oleh pemerintahan Orde Baru menggantikan sebutan Tionghoa, karena orang-orang Cina di Indonesia dianggap sebagai agen pemerintah Cina yang turut mendukung pemberontakan PKI tahun 1965. Dalam hal ini Budiman bersikap tidak mempersoalkan hal tersebut karena masih banyak masalah lain yang lebih penting. Namun demikian Suryadinata (1999) nampaknya tidak sependapat dengan Budiman di atas. Menurutnya sebutan Tionghoa perlu diperkenalkan kembali untuk menggantikan sebutan Cina yang dirasakan menyakitkan.
Paparan di atas sebenarnya merupakan salah satu indikasi adanya proses pencarian identitas diri yang belum tuntas di kalangan masyarakat etnis Cina di Indonesia. Kalau dibandingkan dengan keadaan orang-orang Cina di beberapa negara tetangga seperti Philipina ataupun Thailand, dimana orang Cina sudah berakulturasi dan menjadi warga pribumi, maka kedudukan etnis Cina di Indonesia nampaknya belum menemukan format yang pas. Masih berlaku istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan etnis Cina dengan etnis pribumi yang lain. Sementara terhadap etnis pendatang lain seperti Arab, India, istilah non pribumi ini

nampaknya tidak berlaku. Walaupun orang Cina sudah beranak cucu di bumi Indonesia selama ratusan tahun, sampai saat ini masih saja berkembang anggapan orang Cina sebagai perantau, orang yang menumpang hidup dan cari makan di negeri orang. Orang Cina juga menyandang label WNI lengkap dengan berbagai atribusi yang cenderung berkonotasi kurang menyenangkan. Diibaratkan orang Cina hanya diterima di beranda depan rumah dan belum diterima di dalam rumah sebagai keluarga sendiri.
Selama ini selalu saja kebijakan para penguasa, membuat kedudukan etnis minoritas ini selalu tersudut baik itu di era kolonial maupun di era kemerdekaan (Susetyo 2002). Di era Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tercatat dua peristiwa yang dirasakan sebagai pukulan yang menyakitkan bagi masyarakat Cina, yaitu peristiwa G30S PKI tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Manurut Lan (1998) peristiwa 1965 merupakan trauma paling berat bagi orang Cina di Indonesia. Sementara berdasarkan penelitian yang dilakukan pada era pasca kerusuhan Mei 1998, Bachrun dan Hartanto (2000) menyimpulkan telah terjadi krisis identitas di kalangan orang Cina, karena segala upaya yang telah dilakukan agar bisa diterima sepenuhnya sebagai orang Indonesia telah hancur dalam waktu singkat akibat kerusuhan tersebut. Bagi Suryadinata (1999), seorang pakar Cina yang cukup dikenal, masalah identitas merupakan bagian penting dalam pemecahan ‘masalah cina’ di Indonesia. Namun demikian kapan kepastian itu akan diperoleh ? Apakah ada jaminan bahwa kesewenang-wenangan di masa lalu tidak akan diulangi oleh penguasa-penguasa di masa datang ? Apakah masyarakat sendiri (etnis bukan Cina) bisa memahami persoalan tersebut ?
Ke-Cina-an vs Ke-Indonesia-an
Menurut Lan (1998) pencarian jati diri orang Cina di Indonesia dihadapkan pada beberapa pilihan – menjadi Indonesia, tetap Cina atau mengadopsi identitas lain. Namun demikian nampaknya pilihan-pilihan tidak selalu menempatkan orang Cina pada keadaan yang mudah. Pilihan dengan identitas Indonesia telah difasilitasi pemerintah Orde Baru yang memberlakukan asimilasi inkorporasi (total) bagi orang Cina untuk menghilangkan identitas Cina-nya dan menjadi Indonesia. Namun demikian motivasi pemberlakuan asimilasi inkorporasi nampaknya lebih bernuansa ‘hukuman’ karena sangkaan keterlibatan orang Cina dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Pada kenyataannya kebijakan tersebut justru memberikan kontribusi terhadap berbagai kerawanan dan gejolak sosial yang memprihatinkan seperti prasangka, kerusuhan-kekerasan massa dengan sasaran etnis Cina. Kebijakan tersebut juga menyisakan trauma bagi golongan minoritas ini , selain akibat berbagai tindakan kekerasan yang

dialaminya, juga akibat perlakuan diskriminatif yang membelenggu gerak hidup masyarakat Cina ini (Susetyo, 1999) Asimilasi inkorporasi (total) itu sendiri pada kenyaannya telah gagal, sebagaimana asimilasi Melting Pot yang pernah diberlakukan di Amerika. Pada kenyataannya tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya suatu golongan masyarakat begitu saja.
Memilih mempertahankan identitas sebagai orang Cina juga bukan persoalan yang mudah, karena ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dari berkembangnya stereotip, prasangka dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Cina di mata etnis Indonesia lainnya. Sementara di kalangan aparat, birokrasi pemerintahan, sampai sekarang mereka nampaknya masih menggunakan paradigma lama dengan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Cina misalnya dalam hal status kependudukan ataupun status kewarganegaraan.
Di kalangan internal masyarakat Cina sendiri juga sedang terjadi pergeseran dalam memaknai arti identitas Cina itu sendiri dalam format yang berubah. Menurut Lan (1998) pergeseran tersebut dari ke-Cina-an yang tradisionil dan berorientasi etnis dan negeri leluhur menjadi ke-Cina-an yang modern dan berorientasi nasional dan lokal (dalam hal ini Indonesia). Pergeseran ini nampaknya juga terkait dengan upaya meninggalkan trauma masa lalu, dimana identitas Cina yang berorientasi pada budaya negeri leluhur tidak jarang terjebak pada persoalan-persoalan yang bernuansa politik, misalnya ketika hubungan antara Indonesia dengan RRC memburuk.
Keberadaan etnis Cina sebagai etnis minoritas juga sering kurang menguntungkan dalam konteks relasi minoritas – mayoritas. Etnis minoritas selalu menjadi sasaran prasangka dan diskriminasi dari kalangan mayoritas. Beberapa kali etnis Cina menjadi sasaran pengganti (displacement), kambing hitam bagi rakyat yang frustrasi di era pemerintahan Orde Baru yang represif dalam bentuk kerusuhan anti Cina yang sempat marak. Kedudukan sebagai minoritas bagaimanapun selalu rawan, baik itu dalam posisi sebagai minoritas yang lemah maupun minoritas yang kuat.
Jika dilihat dari format negara Indonesia yang indigeneus nation (negara suku) maka sudah selayaknya format yang pas adalah menempatkan etnis Cina sama kedudukannya dengan suku-suku lainnya (Suryadinata, 1999). Di jaman Orde Lama, Bung Karno pernah memunculkan ide bahwa orang Cina adalah salah satu suku di Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda, Minang, Batak dan sebagainya. Dengan demikian orang Cina telah menjadi orang Indonesia sejati tanpa asimilasi total. Namun akibat meletusnya pemberontakan G30S PKI ide tersebut kandas untuk diwujudkan ( Suryadinata, 1993). Bahkan di era Orde Baru orang Cina harus melakukan

asimilasi total dengan meleburkan identitas etnisnya ke dalam identitas etnis Indonesia (Susetyo, 2002). Namun demikian konsep tentang identitas Indonesia sendiri menurut Lan (1999) juga belum jelas. Apakah sosok Rudy Hartono, Kwik Kian Gie dan orang Cina lainnya yang telah mengharumkan nama bangsa sebagai model bagi identitas Indonesia tersebut ?
Karena berbagai tekanan dan ketidakpastian tersebut, maka orang Cina berada di persimpangan jalan. Hal tersebut setidaknya tergambarkan dari temuan penelitian dari Lan (1998) yang menunjukkan bahwa sekarang ini berkembang berbagai orientasi identifikasi diri di kalangan orang Cina di Indonesia. Setidaknya ada 4 orientasi yang ditemukan,
Kelompok pertama, adalah mereka yang percaya bahwa mereka adalah etnis Cina dan akan selalu menjadi etnis Cina. Oleh karena itu dalam mengidentifikasikan diri, mereka selalu kembali ke asal usul dan warisan budaya etnis Cina.
Kelompok kedua, adalah mereka yang merasa telah berhasil berasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia. Mereka ini adalah orang-orang yang merasa asal usul etnis dan budaya mereka merupakan kutukan yang menyulitkan posisi mereka untuk menjadi bagian yang utuh dari masyarakat dimana mereka tinggal.
Kelompok ketiga, adalah mereka yang berkeyakinan bahwa mereka telah melampaui batas etnis, negara dan bangsa serta telah menjadi seorang yang globalis dan internasionalis.
Kelompok keempat, adalah mereka yang cenderung beranggapan bahwa hidup mereka ditentukan oleh pekerjaan mereka, sehingga mereka lebih suka menghindari pengidentifikasian diri secara budaya maupun politis.
Demikian pula dari temuan dari Tan (1998) yang meneliti tentang aspirasi dan partisipasi politik orang Cina, ternyata terpilah-pilah menjadi lima kelompok cara pandang, yaitu :
Kelompok pertama adalah yang merasa perlu menonjolkan identitas etnis mereka dan memperjuangkan hak mereka sebagai golongan, misalnya dengan mendirikan Partai Tionghoa.
Kelompok kedua adalah mereka yang tidak mau menjadikan etnis atau agama sebagai basis gerakan, melainkan melalu platform persamaan hak, misalnya dengan mendirikan Partai Bhineka Tunggal Ika
Kelompok ketiga adalah kelompok yang lebih menyukai sebuah forum yang tujuan utamanya lebih sebagai pressure group.
Kelompok keempat adalah mereka yang membentuk paguyuban kelompok karena perasaan senasib sepenanggunan. Misalnya dengan mendirikan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia.
Kelompok kelima adalah mereka yang bergabung dalam partai politik yang terbuka seperti PDI Perjuangan, PAN dan lain sebagainya.

Dari paparan di atas kiranya dapat diperoleh gambaran tentang bagaimana dinamika pencarian identitas etnis Cina di Indonesia. Pada kenyataannya di tengah masyarakat etnis Cina telah berkembang subkultur-subkultur baru yang merupakan respon terhadap realitas sosial yang berkembang dan semakin menggambarkan identitas etnis Cina yang plural.
Identitas Etnis Dalam Persektif Teori Identitas Sosial
Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam setiap interaksi sosial. Pertanyaan ‘Siapakah Anda ?’, sebenarnya selalu tertuju pada upaya mengungkap identitas seseorang dan selanjutnya menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan (2000) mengatakan bahwa setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial. Menurut teori identitas sosial (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.
Menurut Hogg dan Abram (1988) di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, klas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama dan lain sebagainya. Di dalam masing-masing kategori sosial tersebut melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antarindividu dan antarkelompok.
Pada dasarnya setiap individu ingin memiliki identitas sosial yang positif. Hal tersebut menurut Hogg dan Abram (1988) rangka mendapatkan pengakuan (recognition) dari pihak lain dan persamaan sosial (social equality). Bahkan menurut Laker (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) dalam keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification, yaitu upaya mengidentifikasi pada identitas / kelompok lain yang dipandang lebih baik. Fenomena ini misalnya ditemukan pada anak-anak kulit hitam di Amerika yang justru menganggap rendah kelompoknya sendiri dan lebih senang mengidentifikasi pada kelompok kulit putih.
Dalam pandangan teori identitas sosial, keinginan untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui proses social comparison yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya (Taylor dan

Moghaddam, 1994). Proses social comparison merupakan serangkaian pembandingan dengan orang / kelompok lain yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian khusus tentang identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain (Hogg dan Abram, 1988)
Selalu ada upaya-upaya untuk mempertahankan identitas sosial yang positif dan memperbaiki citra jika ternyata identitas sosialnya sedang terpuruk baik dalam skala individual maupun skala kelompok. Dalam konteks makro sosial (kelompok, masyarakat) maka upaya mencapai identitas sosial positif dicapai melalui 1) mobilitas sosial dan 2) perubahan sosial. Mobilitas sosial adalah perpindahan invidividu dari kelompok yang lebih rendah ke kelompok yang lebih tinggi. Mobilitas sosial hanya mungkin terjadi jika peluang untuk berpindah itu cukup terbuka. Namun demikian jika peluang untuk mobilitas sosial tidak ada, maka kelompok bawah akan berusaha meningkatkan status sosialnya sebagai kelompok. Pilihan pertama adalah dengan menggeser statusnya ke tingkat lebih atas. Kalau kemungkinan menggeser ke posisi lebih atas tidak ada, maka usaha yang dilakukan adalah dengan meningkatkan citra mengenai kelompok agar kesannya tidak terlalu jelek. (Hogg dan Abram, 1988; Sarwono, 1999)
Dinamika Pencarian Identitas Etnis Cina Dalam Persektif Teori Identitas Sosial
Dinamika pencarian identitas etnis Cina sebenarnya terkait perlakuan yang diterima dari pihak penguasa. Dalam Sarwono (1999), dan Susetyo (2002) dikemukakan bahwa pada jaman pemerintahan kolonial Belanda, perbedaan status etnis diberlakukan dengan tegas. Orang Eropa diberi status tertinggi dan mempunyai hak dan fasilitas terbaik. Orang Cina yang waktu itu disebut orang Timur Asing (vreemde osterlingen) mempunyai status di bawah orang Eropa dan golongan pribumi (inlander) diberi status yang paling rendah (kecuali bangsawan yang diberi status seperti Eropa).
Dalam statusnya yang di tengah ini, orang Cina meningkatkan citranya dengan melakukan mobilitas sosial, yaitu mengadopsi berbagai identitas yang melekat pada orang Eropa ataupun Belanda. Banyak orang Cina yang berpendidikan ala Eropa, cara mereka berpakaian juga ala Eropa, mereka juga mengadopsi agama Kristen dan Katolik seperti orang Eropa disamping keyakinan yang mereka bawa dari tanah leluhurnya, dan lain sebagainya. Amat jarang orang Cina yang mengidentifikasi dengan identitas pribumi, karena status pribumi yang lebih rendah. Interaksi dengan orang pribumi nampaknya lebih untuk kepentingan dagang dan kepentingan lain yang bisa menguntungkan. Dalam hal tertentu orang pribumi malah terangkat derajatnya, misalnya ketika ada perempuan pribumi yang dinikahi orang Cina. Dengan demikian, yang

menonjol pada orang Cina di era kolonial Belanda adalah perpaduan antara identitas Cina tradisionil dan identitas ala Eropa.
Namun demikian situasinya nampak berbeda sama sekali ketika memasuki era kemerdekaan. Persoalan yang mengedepan terutama adalah tentang kepastian status kewarganegaraan. Dikemukakan oleh Coppel (1994) orang Cina pada masa itu terjepit antara berbagai kepentingan baik yang berskala nasional maupun internasional. Pemerintah Indonesia pada waktu itu tidak bisa segera memberikan kepastian. Bahkan undang-undang yang mengatur hal ini ditengarai akan membatasi jumlah orang Cina yang bisa menjadi warganegara. Sementara pemerintah RRC pada waktu itu masih memberlakukan kewarganegaraan ganda bagi orang Cina di perantauan, yaitu disamping menjadi warganegara di negara tempat merantau juga melekat kewarganegaraan Cina. Sebagai reaksi terhadap keadaan tersebut maka sejumlah tokoh Cina mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang inti perjuangannya ingin menempatkan etnis Cina sejajar dengan etnis/suku lain dengan konsep integrasi. Sementara kelompok Cina yang lain menghendaki asimilasi sebagai solusi.
Namun demikian sejak terjadinya peristiwa pemberontakan PKI 1965, keadaannya berbalik sama sekali. Konsep integrasi secara politis telah dikategorikan sebagai bagian dari ideologi komunis sosialis (Lan, 1998). Dengan demikian pilihan satu satunya yang diberi ruang oleh penguasa adalah dengan asimilasi. Sebenarnya disinilah akar permasalahannya mengapa pencarian identitas etnis Cina menjadi sedemikian rumit.
Pasca peristiwa 1965 status etnis Cina sedang dalam kondisi terendah. Mereka dipojokkan oleh penguasa maupun masyarakat bukan Cina. Pada saat itu berbagai kekerasan massa anti Cina mulai marak. Mengacu pada teori identitas sosial, maka ketika suatu kelompok citranya sedang terpuruk selalu ada upaya untuk bereaksi terhadap keadaan ini dalam rangka meraih kembali citra / identitas sosial yang positif. Adapun modus yang biasa terjadi adalah dengan mobilitas sosial dan perubahan sosial.
Bentuk-bentuk mobilitas sosial yang dilakukan nampaknya cukup bervariasi tergantung dari persepsi masing-masing kelompok tentang bagaimana harus memperbaiki citra. Salah satu reaksi yang muncul adalah dengan eksodus ke luar negeri seperti ke Belanda, kembali ke RRC dan sebagainya. Sementara kelompok asimilasi nampaknya mendapat angin, salah satu tokohnya Junus Jahja mendorong orang Cina untuk memeluk agama Islam sebagai kunci pembauran total. Dalam penelitian yang dilakukannya terhadap subyek mahasiswa dan siswa SMU etnis Cina di Semarang, Susetyo (2002) menemukan bahwa ada kecenderungan subyek untuk mengadopsi sifat-sifat positif dari etnis Jawa sebagai identitas sosialnya. Hal ini nampak menjadi salah satu solusi dalam pencarian identitas ini. Pada akhirnya kita akan menemukan identitas Cina yang

Jawa, Cina yang Batak, Cina yang Padang, Cina yang Sunda dan sebagainya. Namun demikian ketika mereka tidak dapat menemukan hal-hal yang mendukung perbaikan citra dirinya sebagaimana hal di atas, banyak juga yang akhirnya pindah keluar negeri menjadi kelompok yang beridentitas kosmopolitas, internasional, lintas etnis maupun lintas negara. Dinamika tersebut nampaknya dapat tergambarkan dari penelitian dari Lan (1998) tentang orientasi identifikasi diri ataupun dari Tan (1998) tentang aspirasi politik di atas.
Selain melalui mobilitas sosial, nampaknya juga ada kecenderungan melakukan perubahan sosial, yaitu dengan memperbaiki citra dari ke-Cina-an. Salah satunya adalah dengan menggeser orientasi ke-Cina-an dari yang berorientasi tradisionil menjadi ke-Cina-an yang berorientasi nasional. Barangkali kecenderungan ini lebih banyak berkembang di kalangan generasi yang lebih muda, dimana mereka sudah begitu menguasai lagi adat istiadat Cina tradisionil, tidak bisa berbicara dalam bahasa mandarin, memiliki pendidikan yang modern. Dengan demikian ke-Cina-an sekarang tampil dalam kemasan dan citra baru yang lebih bisa diterima dan tidak lagi berasosiasi dengan masa lalu yang traumatis.
Kesimpulan
Apa yang bisa disimpulkan dari paparan di atas, bahwa krisis identitas yang terjadi di kalangan etnis Cina di Indonesia sangat terkait dengan nuansa kebijakan politik penguasa, dimana mereka memiliki kepentingan tertentu untuk menempatkan etnis Cina sesuai dengan kemauan politiknya. Posisi minoritas yang cenderung rentan, selalu memojokkan etnis Cina dari waktu ke waktu. Krisis identitas etnis Cina terutama memuncak pasca pemberontakan G30S PKI yang menempatkan status etnis Cina dalam tataran terburuk. Dalam upaya menemukan kembali citra identitas sosial yang positif, etnis Cina menggunakan modus yang variatif baik dalam bentuk mobilitas sosial maupun dengan perubahan sosial.