Senin, 29 Juni 2009

Institusi sosial, jaringan sosial dan dukungan sosial

PERS PANCASILA: DARI KEPANCASILAAN SISTEM SOSIAL∗

Bagaimana kita melihat kehidupan pers? Institusi pers tidak dapat dilepaskan dari
institusi sosial yang memberi tempat dan menjamin hak warga masyarakat untuk
menyatakan pikiran dan pendapatnya, dan dengan sendirinya juga hak untuk memperoleh
pikiran dan pendapat dari pihak lain. Institusi pers merupakan bagian dari institusi sosial
yang lebih luas, berupa kegiatan intelektual dalam masyarakat. Dengan begitu pers hadir
karena masyarakat memang memerlukan dan menyediakan mekanisme bagi forum alam
pikiran dan masalah sosial.
Tetapi selain itu, sering pers dilihat sebagai suatu institusi yang memiliki peranan strategis dalam masyarakat. Dalam peranannya ini pers dituntut untuk menjalankan fungsi sosial. Tentunya tidak dilupakan bahwa pers hadir melalui informasinya, dan karenanya untuk melihat fungsi yang diembannya, tidaklah langsung di dalam masyarakat. Fungsi dan peranan pers hanya akan berlangsung melalui efek informasi ini dalam dunia alam pikiran anggota masyarakat. Sejauh mana efek yang bersifat individual signifikan terhadap perubahan masyarakat, hanya dapat ditunggu sampai timbul tindakantindakan yang berpola dalam masyarakat.
Penyajian berita kriminal yang tinggi misalnya, mungkin saja mempengaruhi alam
pikiran individu khalayak pembaca. Kalau efek individual ini memunculkan tindakantindakan
berpola sampai kriminalitas menjadi fenomena dominan dalam masyarakat, maka
pers pun dapat disebut berperan.
Landasan semacam ini kiranya melahirkan institusi pers yang difungsikan sebagai alat perjuangan. Sebagai alat perjuangan pada masa kolonial, keberadaan pers nasional dimaksudkan memberi pendidikan kepada khalayak pembacanya agar memiliki kesadaran nasional. Dari sini diharapkan akan terbentuk suatu masyarakat yany menggunakan paradigma baru, dengan orientasi nasional, yang vis-a-vis dengan sistem kolonial.
sejauh mana pers nasional pada masa kolonial itu membentuk kesadaran nasional pada masyarakat Hindia Belanda, agaknya hanya akan menjadi kesimpulan spekulatif. Sulit untuk menunjukkan mana yang lebih memberikan kontribusi, apakah
pers nasional ataukah rapat-rapat umum yang diadakan oleh tokoh-tokoh perjuangan
yang memiliki kekuatan retoris. Hubungan pimpinan perjuangan dengan massa pada
dasarnya terbangun melalui media sosial, bukan melalui media pers.
Keterbatasan oplah ditambah jumlah khalayak yang melek huruf yang terbatas,
boleh dicatat sebagai faktor betapa pers nasional hanya menjadi bacaan sekelompok elit di
kota-kota. Jangankan di masa Hindia Belanda, pada masa Orde Baru yang relatif telah
mengentaskan banyak penduduk sehingga bebas buta huruf, keberadaan media pers untuk
tujuan mendidik seperti koran masuk desa, harus diimbangi dengan forum media seperti
kelompok pembaca.
***
Asumsi yang menempatkan daya pengaruh informasi ini menyebabkan setiap
penguasa negara berusaha mengendalikan media pers. Ini lebih terasa pada awal abad 20,
setelah redanya penentangan fisik melalui pemberontakan kalangan bangsawan (raja-raja
di luar Jawa, Pangeran-pangeran di Jawa) dan petani, pemerintah Hindia Belanda
menghadapi penentangan secara intelektual. Sebagai hasil samping politik etis, bertumbuh
kalangan pribumi terdidik secara modern di Hindia Belanda.
Karenanya pada abad 20, gerakan penentangan umumnya dilakukan oleh kalangan
intelektual modern, dan format gerakannya dengan sendirinya menggunakan perangkat
modern, seperti partai politik dan pers. Tekanan penguasa kolonial berbeda pula formatnya,
tidak lagi bertumpu kepada marsose, tetapi melalui pengendalian polisional sipil.
Disini sangat berperan polisi yang menjalankan fungsi intel politik.
Pada puncak tekanan penjajahan di abad 20, birokrasi negara menjalankan
ketentuan-ketentuan hukum yang semakin keras dan telanjang, bahkan ahli hukum Belanda
sendiri tidak dapat menerimanya. Di antaranya adalah kekuasaan Gubernur Jenderal untuk
menggunakan hak eksorbitan (exorbitante recht), dan pelarangan terbit koran atau yang
populer disebut sebagai Persbreidel Ordonnantie. Kedua kewenangan yang bersifat
preventif ini banyak mengambil korban para pejuang nasional yang dibuang ke Digul dan
daerah-daerah lain, serta koran-koran yang berhenti terbit.
Selain itu tindakan represif juga dijalankan pula dengan menerapkan ketentuan
yang terdapat dalam Hukum Pidana terutama pasal-pasal yang biasa disebut haatzaai
artikelen yang disebut sebagai pasal-pasal "karet", karena sangat longgar dalam penginterpretasiannya.
Pembuktian hukum untuk pasal pidana ini tidak melalui pengujian
materiel atas perbuatan pelaku maupun efek empirisnya, tetapi melalui ucapan atau tulisan
yang diinterpretasikan secara semantis oleh penuntut yang mewakili kekuasaan negara.
Penginterpretasian atas dasar kekuasaan negara ini terus-menerus berhadapan dengan
upaya membangun otonomi lembaga peradilan di Hindia Belanda.
Ketentuan haatzaai artikelen sebagai produk hukum kolonial, tidak terdapat dalam
hukum pidana Belanda yang menjadi acuan dari hukum pidana Hindia Belanda. Haaatzaai
artikelen masih dipertahankan dalam hukum pidana RI. Kendati sudah merdeka, masih
menggunakan ketentuan kolonial, karenanya kehidupan pers di Indonesia masih berada
dalam setting hukum kolonial.
Penerapan hukum ini terhadap penyampaian informasi, dapat dijadikan indikator
sejauh mana kehidupan pers berhadapan dengan penguasa negara. Dengan mencatat
penerapan hukum ini terhadap wartawan/pers khususnya dan intelektual umumnya, dapat
dilihat karakteristik dari format kehidupan pers dan kebebasan menyatakan pendapat,
misalnya dengan membandingkan secara empiris frekuensi pada masa Hindia Belanda,
masa perang kemerdekaan, masa liberal, masa Orde Lama, dan era Orde Baru sekarang.
Catatan sejarah tentang tekanan penguasa negara terhadap wartawan dan
intelektual, menggambarkan perjalanan institusi pers dan forum intelektual di Indonesia.
Pada masa belakangan ini penerapan haatzaai artikelen menunjukkan frekuensi lebih tinggi
dibandingkan dengan era sebelumnya. Karenanya sulit membayangkan bahwa pers Pancasila itu semakin menemukan formatnya. Keberadaan pers Indonesia sering dibicarakan secara normatif. Artinya pers Indonesia harus menjalankan fungsi dan peranannya sebagai pers Pancasila, sesuai dengan tuntutan normatif pihak lain. Berkaitan dengan pers Pancasila, tuntutan normatif itu pada dasarnya bersifat politis, yaitu birokrasi kekuasaan negara yang menggariskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh institusi pers.
Tuntutan normatif ini terjadi dalam sistem berdasarkan korporatisme negara yang menjadikan setiap institusi kemasyarakatan tidak boleh memiliki otonomi. Institusi pers, sebagaimana institusi sosial lainnya seperti asosiasi profesi, partai politik, bahkan lembaga keagamaan dan ekonomi, terkooptasi oleh birokrasi negara, dan hanya boleh menjalankan fungsi imperatif yang berasal dari birokrasi negara.
Dalam negara korporatis, keberhasilan aparat birokrasi dilihat seberapa luas institusi sosial yang berada di bawah kendalinya. Tetapi upaya untuk mengkooptasi institusi kemsyarakatan ini biasanya sulit dijalankan terhadap institusi ekonomi, terutama dalam era global sekarang. Institusi ekonomi yang memi-liki jaringan global pada dasarnya tidak terikat kepada satu negara, karenanya kekuasaan birokrasi negara tertentu, sulit untuk
mengkooptasinya.
Institusi pers sebenarnya berwajah ganda, yaitu sisi politik dan ekonomi. Sebagai
institusi politik, informasi pers dinilai dalam ukuran normatif secara politis. Untuk
mewujudkan fungsi dan peranannya semacam ini, negara menciptakan regulasi, mulai dari
ijin terbit atau usaha penerbitan, sampai haatzaai artikelen.
Sebagai institusi ekonomi, pers dapat menjalankan fungsi dan peranannya
sepenuhnya menggunakan norma ekonomi. Dengan formula industri, yaitu informasi
sebagai produk yang dipasarkan sesuai dengan kecenderungan sosiografis dan psikografis
dari konsumen. Massa dilihat sebagai konsumen, karenanya keberadaan media bertolak
dari azas komodifikasi pers.
Di antara kedua fungsi politik dan ekonomi yang bersifat imperatif, sering pula
institusi pers dituntut sebagai institusi budaya. Sebagaimana institusi budaya lainnya,
seperti lembaga agama dan sekolah, pers dituntut untuk juga mendidik masyarakat,
membangun budi pekerti dan sebagainya. Fungsi imperatif semacam ini hanya bersifat
moral, sangat berbeda kekuatannya dibanding dengan fungsi imperatif politis dan ekonomis yang bersifat empiris. Tidak ada konsekuensi apapun jika pers tidak memenuhi
tuntutan ini, berbeda dengan tekanan imperatif politik (ijin terbit dicabut, wartawan dikenai haatzaai artikelen), atau tekanan ekonomi (koran tidak laku).
Demikianlah, dalam melihat keberadaan pers Pancasila agaknya lebih tepat menumpukan perhatian kepada faktor-faktor imperatif yang melingkupinya. Tidak mungkin bertolak dari nilai normatif yang hanya dijalankan oleh institusi pers sendiri. Dengan kata lain, pers Pancasila hanya bisa dilihat dari inter-relasi pers dengan institusi lain, sebab format institusi pers pada dasarnya dibangun oleh faktor-faktor imperatif dari institusi lain.
Jika seluruh institusi kemasyarakatan (birokrasi negara, partai politik, intitusi ekonomi, institusi keagamaan, dsb) dalam sistem kenegaraan sudah berjalan sesuai dengan Pancasila, percayalah, pers Pancasila otomatis akan terwujud. Pers hanyalah cermin yang memantulkan bayangan sesuai di luar dirinya.


DUKUNGAN SOSIAL
Definisi Dukungan Sosial

Terdapat banyak definisi tentang dukungan sosial yang dikemukakan oleh para ahli. Sheridan dan Radmacher menekankan pengertian dukungan sosial sebagai sumber daya yang disediakan lewat interaksi dengan orang lain. “ Social support is the resources provided to us through our interaction with other people ”. (Sheridan dan Radmacher, 1992).

Pendapat lain dikemukakan oleh siegel yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. “ Social support is information from others that one is loved and cared for, esteemed and valued, and part of a network of communication and mutual obligation “ (Siegel dalam Taylor, 1999).

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang berdasarkan kepentingan bersama.

Sumber Dukungan Sosial

Dari definisi diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa sumber dari dukungan sosial ini adalah orang lain yang akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamanan secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup, orang tua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, staf medis serta anggota dalam kelompok kemasyarakatan.

Bentuk Dukungan

Sheridan dan Radmacher (1992), sarafino (1998) serta Taylor (1999) membagi dukungan sosial kedalam lima bentuk. Yaitu :

1. Dukungan instrumental (tangible assisstance)

Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah dengan lebih mudah.


2. Dukungan informasional

Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu, Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.

3. Dukungan emosional

Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.

4. Dukungan pada harga diri

Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat induividu, perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.

5. Dukungan dari kelompok sosial

Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib.

Dampak Dukungan Sosial

Bagaimana dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan efek dari stress. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stress. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya stress.

Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan anatara respon individu pada kejadian yang dapat menimbulkan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres mengganggu kepercayaan diri, dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu.

Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam memepengaruhi kejadian dan efek stres. Dalam Safarino (1998) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain :

1. Dukungan yang tersdia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secra emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.

2. Duklungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.

3. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.

4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar